Pekarangan Komplek


Mata ku sangat berat unutk diajak berkompromi karena semalam harus mengerjakan tugas sampai pagi buta. Hari ini hari sabtu dan rasanya tidak salah bila aku memutuskan untuk tidur, walaupun ini sudah masuk waktu ashar dan ada mitos orang sunda untuk tidak tidur di jam sore menjelang magrib seperti ini, tapi kantuk ku mana peduli.

Jendela kamarku tepat menghadap pekarangan, dari posisi tidurku menghadap ke kiri, aku bisa melihat ke luar. Sudah tidak ada lagi pohon mangga di pekarangan, karena suatu hari buahnya pernah memecahkan gerobak dagang tetangga. Ayah berpikir kejadian itu membawa sial, ia pun menebang pohonnya. Aku jadi merindukan masa panen mangga yang tidak bisa terjadi lagi.

Tidak jauh dari pohon mangga terdapat dua undakan kecil tempat aku biasa duduk bersama teman-teman sekedar berdiskusi apa yang akan kami mainkan hari ini. Pilihan memang tidak akan jauh dari bermain boyboyan, bancakan, adu gambar dan bermain bola. Tapi pernah kami memilih untuk bermain masak-masakkan dalam artian betul-betul memasak. Menggunakan kayu bakar dari ranting pohon mangga, dan membuat tungku sederhana dari tumpukan batu bata. Kami akan memasak bihun kecap terenak.

Rasanya belum lama mataku terpejam, banyak suara memanggil manggil namaku dari luar. Badan ku yang baru di baringkan sebentar jelas menolak, tapi sisi bagian di kepala ku menyuruh untuk bangun.

“Iiii-mellll” suara nyaring teman-teman memanggilku dari depan rumah. Mereka akan memanjangkan panggilan setiap suku kata nama. Itu cara kami untuk bisa mengumpulkan anak-anak satu komplek setiap sorenya. Berkeliling dan memanggil nama mereka satu persatu tepat di depan rumahnya.

Setiap sore setelah pulang sekolah agama, kami biasa berkumpul di pekarangan rumah tetangga dan memainkan apa saja. Pekarangan rumah di komplek seperti ini memang tidak lah luas, jadi kami pun menginvasi jalanan komplek. Kalau ada kendaraan kami akan melipir kepinggir.

Permainan favoritku adalah boyboyan. Permainan ini membutuhkan tenaga ekstra karena bila tim mendapat bagian jaga, kami harus berlari mengejar tim penyusun yang harus berlari menghindari bola lawan sembari menyusun genting yang telah dirobohkan sebelumnya menggunakan bola yang dilempar pada jarak yang telah disepakati.

Biasanya terdapat kubu yang saling bergesekkan di komplek, maka dari itu permainan kadang menjadi ajang pembuktian siapa yang terbaik. Seperti antara Ananta dan Ilyas. Mereka berdua memang rival, terutama dalam permainan adu gambar. Hal ini dipicu karena Ananta berhasil menguras stok gambar Ilyas yang dikenal sebagai bandar gambar saat bermain di pekarangan Ilyas. Hari itu sepertinya Ilyas kehilangan harga dirinya sebagai tuan rumah. Aku dan Ananta yang satu sukong jelas merasa senang karena mendapat banyak gambar. Ananta terlihat sangat bersemangat dan selalu membanggakan keberhasilanya mengalahkan Ilyas waktu itu. Walaupun rasanya tidak tega melihat Ilyas kehilangan banyak gambar, tapi aku tidak bisa menghentikan Ananta waktu tu.

Hari ini pas sekali saat dibagi kelompok, aku satu kelompok bersama Ilyas melawan tim Ananta. Jelas sekali Ananta tidak menyukainya, aku pun begitu. Satu sukong bisanya selalu ingin berada di satu kelompok yang sama. Untuk menentukan siapa yang bertugas menjaga dan menyusun adalah dengan suit. Kelompok Ilyas menang, jadi tugas pertama kami adalah merobohkan genting terlebih dahulu, setelah itu kami akan dikejar sembari harus menyusun genting kembali. Pemain yang menyusun akan kalah saat bola dari tim lawan mengenainya dan terpaksa harus melipir memperhatikan permainan saja.

Bila satu kelompok terus bisa bertahan menjadi tim penyusun dan membuat tim lawan tidak mendapat kesempatan untuk bermain dan hanya menjadi penjaga, kami menyebutnya dikokok. Entah dari mana istilah itu datang, tapi yang jelas, kelompok ku terus menang. Setiap kali akan melempar bola menuju tumpukan genting untuk dirobohkan, Ilyas selalu menatap Ananta terlebih dahulu dan menyunggingkan senyum. Aku jelas kenal Ananta, hidungnya akan kembang kempis menahan kesal.

“Eits kena. Hahah.” Tawa puas Ananta meledak saat mengenai bokong Ilyang yang tengah berjongkok menyusung genting. Sepertinya ia memang sengaja menargetkan Ilyas, aku hanya ikut tertawa. Ilyas hanya melenggang dengan dengusan kesal, bergabung bersamaku di pinggir karena telah kena bola.

Bila kau bertanya kapan permainan ini berakhir, jelas ini berakhir saat adzan maghrib berkumandang. Kami akan bubar, membereskan genting yang berserakan di pekarangan tetangga karena takut tidak diizinkan main lagi keesokan harinya. Permainan akan berlanjut malam hari di masjid dengan permainan lain, atau esok hari seperti biasa di sore hari.

Jam bermain akan berubah drastis di hari libur. Di malam minggu kami biasa berkumpul di pos kamling, bermain permainan apa saja yang bisa di lakukan. Kalau kami menemukan kartu remi milik bapak-bapak yang jaga ronda, kami akan memainkannnya.

Hari itu aku dan Ananta bersama Resa, kami memisahkan diri dari kelompok anak lain yang sedang bermain remi dan duduk di undakan depan rumah ku. Kami sedang membicarakan rencana lari ke alun-alun kecamatan esok hari. Apakah mau setangah jalan trus naik angkot atau akan serius berlari dari rumah sampai alun-alun.

“Kita naik angkot saja yuk!” Resa yang badannya paling kurus diantara kami memohon untuk naik angkot saja. Aku tidak keberatan dengan opsi mana pun yang akan diambil tapi Ananta selalu kekeh dengan keinginannya.

“Lah, bukan lari dong. Itu mah namanya jalan-jalan.”

Sampai jam tujuh malam kami masih asik mendiskusikan rencana besok. Tidak berselang lama, terjadi pemadaman listrik. Ayahku membawa senter keluar, sebagai penerangan kami. Diskusi berlanjut sampai setengah delapan, komplek masih gelap namun karena hari libur, banyak anak-anak yang malah berkeliaran di luar. Kesepakatan untuk esok hari sudah di dapat, kami akan berangkat naik angkot, beli jajanan di toserba lalu makan bubur dan pulangnya berjalan kaki. Ananta dengan terpaksa memilih jalan yang tiga per empatnya menguntungkan Resa.

“Hei, kalian mau ikut keliling komplek?” Ilyas menghampiri kami, membawa senter dengan sarung ia selempangkan di bahu.

“Boleh!” jawabku antusias lansung berangjak dari duduk, Ananta menahanku dan berpikir.

“Kita boleh bawa senter kamu kan Mel?” Tanya Ananta, sepertinya ia tak mau ikut hanya berusaha untuk terlihat natural untuk menolak. Tapi aku ingin ikut, kini ia harus sedikit berdamai dengan Ilyas.

“Tentulah boleh. Ayok!” aku menarik tangannya yang masih menahanku untuk segera berdiri. Akhirnya kami ikut bersama rombongan Ilyas, tapi Resa sudah dipaggil ibunya untuk pulang. Jadi tersisa aku perempuan satu satunya.

Terdapat total tujuh anak yang berjalan keliling komplek dengan membawa senter, kami hanya berbincang sepanjang jalan. Membicarakan sekolah, menghina nama setiap Ayah -hal yang tidak pernah ku lakukan, karena sangat tidak enak melihat air muka anak yang nama ayahnya dihina, membicarakan pertandingan Persib, persaingan Valentino Rossi dan Stonner, serta membicarakan lokasi angker di komplek kami yang sedang kami tuju sekarang.

            Di daerah kami terdapat batas antara komplek dan desa tetangga yaitu pekarangan rumah paling ujung yang dekat dengan deretan pohon bambu. Kalau tidak terjadi pemadaman, akan terlihat sangat kontras antara komplek yang terang dan gelapnya rimbunan pohon bambu. Tidak pernah ada diantara kami yang berani melewati jalan tersebut lewat magrib. Mulai banyak carita seram tentang lokasi itu, seperti ada pocong diantara sela sela pohon, kuntilanak yang tertawa, atau bayangan hitam. Semua itu pernah dilihat katanya oleh orang-orang yang lewat pekarangan rumah ini.

“Nah, siapa yang berani berjalan sampai komplek pemakaman di depan lalu kembali lagi?” Ilyas memimpin ekspedisi seram kali ini. Ia sengaja berdiri didepan kami yang saling berdesakkan duduk di kursi bambu yang biasa ibu-ibu pakai untuk bergosip dan mencari kutu di waktu senggang. Aku jadi takut mungkin ada sisa darah kutu yang tertiggal di kursi bambu ini.

“Bagimana kalau kau Ananta?”

Jelas sekali ini akan berakhir antara Ananta dan Ilyas. Mungkin Ilyas ingin membuat reputasi Ananta menjadi buruk. Sepertinya ia masih menyimpan dendam karena kartunya kita habiskan waktu itu. Ini akan sangat buruk, karena Ananta memang penakut.

Lima orang sisanya termasuk aku, akan mengawasi dari pekarangan ini sambil menyorot mereka dengan senter. Tapi sorot lampu senter memang tidak sampai ke komplek pemakaman, karena terdapat kelokan yang terhalang rimbunya pohon bambu. Kami tidak banyak berbicara, selain tegang, takut membangunkan orang rumah yang jelas akan mengusir kami.

Ananta dan Ilyas sudah setengah jalan sebelum punggung mereka ditelah kelokan pohon bambu. Kami menunggu dengan pikiran masing masing, sunyi sekali dan hanya suara gesekan pohon bambu yang terdengar. Tidak berselang lama, bayangan mereka cepat kembali, sorot senter mereka tak karuan, ditambah suara derap langkah kakinya terdengar cepat. Jelas sekali mereka sedang berlari dari sesuatu dan memberi isyarat dengan tangan. Kami berlima hanya melongo lalu saat Ananta berteriak “Lari!’ barulah kami semua panik dan lari tunggang langgang ke rumah masing-masing tanpa tahu apakah semua selamat atau tidak.

Tidak ada yang membicarakan kejadian semalam entah itu Ananta atau Ilyas. Aku dan empat teman lainnya sudah memaksa Ananta dan Ilyas untuk bercerita saat kami berkumpul di pos kamling keesokan siangnya, tapi mereka masih enggan. Padahal kami sudah membuat suasana seperti persidangan, mereka malah saling menatap dan bergidik, tidak ingin mengucapkan apa-apa. Aku hanya membuang nafas kesal, setidaknya mereka harus bertanggung jawab karena membuat kami semua berlari bahkan sandal ku lepas sebelah tidak aku pedulikan.

Kami melanjutkan permainan seperti biasa. Kali ini kami akan bermain adu gambar. Ilyas yang sempat kehilangan status sebagai bandar kali ini dengan bangga menunjukkan tumpukan gambarnya. Entah sukong mana yang ia habisi sehingga kartunya melimpah kembali.

Aku dan Ananta melawan sukong Ilyas dan beberapa sukong lainnya. Permainan ini mengharuskan kami memilih satu kartu dengan hanya memperhitungkan angka terahir yang tertera di gambar sembari memasang taruhan menggunakan kartu masing-masing, lalu bandar akan disisakan satu kartu. Setelah itu, masing-masing kartu akan ditambahkan dengan kartu yang dikocok oleh bandar, kartu yang angka totalna lebih besar dari bandar akan mendapat bayaran sesuai taruhan dan yang lebih kecil taruhannya akan diambil. Permainan sederhana ini menentukan reputasi persukongan di komplek.

Hari ini memang perlawanan sangat sengit dengan Ilyas sebagai bandar. Kadang semua tarahuan ia ambil dengan tawa puas, kadang ia berdecak karena harus membayar semua taruhan. Kali ini keberuntungan Ananta sedang tidak bagus. Ia terlihat kesal karena kartu kami tidak kunjung bertambah, tapi hidungnya tidak kembang kempis seperti biasa, artinya ia tidak terlalu kesal. Sampai menjelang magrib, permainan masih berlangsung. Sukong kecil terpaksa berhenti ditengah jalan karena kartu mereka habis, tersisa sukong Ananta dan Ilyas.

Adzan maghrib berkumandang, tanda kita semua harus segera pulang. Kami bergegas mencaari sandal masing-masing hendak meninggalkan pos kamling. Seketika Ilyas dan Ananta menghamburkan kartu-kartu hasil mengadu sore ini. Sontak semua anak-anak berkerumun, bahkan yang sudah mendekati pintu rumah bergegas berlari karena mendengar teriakkan kami.

“Sawer gambar woy!”

Ananta dan Ilyas, berdiri di undakan paling atas pos kamling dengan anak-anak lain saling berebut gambar di bawah. Semua tertawa kegirangan, seperti ikan kelaparan mencapluk pakan. Tidak habis pikir Ilyas dan Ananta akan melakukan hal tersebut, dan mereka tertawa bersama. Aku hanya mengernyitkan dahi melihat kelakuan mereka. Mereka saling menyawerkan gabar, bak raja murah hati memberi makan kepada rakyat jelata. Aku curiga, kejadian hantu kemarin membuat pergesekkan antara mereka tidak terlalu panas sepertinya. Apakah hantu itu yang menyuruh mereka akur dan bermurah hati hari ini? Entahlah, anak lelaki mudah akur oleh hal sederhana dan mudah terpancing dengan hal sederhana pula.

Pesta gambar berakhir setelah pemilik pekarangan dekat pos kamling berteriak menyuruh kami pulang. Saat membuka pintu rumah, terdengar suara ibu memanggil dari dalam. Aku akan habis diomel, piker ku. Tapi rasanya badan ku berat dan anehnya ibu sudah ku dapati sedang duduk di pinggir ranjang tidur, menyuruhku bangun sudah masuk adzan magrib.

“Bu, kangen masa kecil.” Kata ku tiba-tiba. Ia hanya tersenyum seulas

“Makanya jangan tidur sore-sore” ia pun berlalu, keluar pintu kamar. Tersisa aku yang nyawanya masih berada di kejadian sepuluh tahun lalu saat aku masih bisa leluasa bermain di pekarangan rumah.

Menembus jendela, aku menatap sudah tidak ada dua undakkan tempat aku biasa duduk dan mengobrol, tidak ada pohon mangga dan tidak ada lagi panggilan nama yang nyaring terdengar saat sore. Tidak ada lagi pergesekkan sukong antara Ananta dan Ilyas, mereka sudah lama tidak ada di komplek ini, beberapa teman lainya pun memutuskan untuk pindah. Aku tahu, harusnya aku tidak tidur di sore hari.

Komentar

Postingan Populer