Komando Langit
Tidak pernah aku bosan memandang angkasa. Setiap
sapuannya selalu baru dan misterius, seolah menyimpan pesan tertentu. Aku
menyukai semburat jingga lembayung yang anggun menghiasi singgasana surya yang
hendak turun, aku menyukai polesan sirus di hamparan permadani biru di siang hari
dan taburan bintang pada kanvas dongker di malam harinya.
“Setiap langit menyimpan rahasianya sendiri dan mereka
menyimpan rahasiamu. Percaya?” Suatu siang sepulang sekolah aku menghampiri
abah yang tengah beristirahat di sawah. Menjelang panen, sawahnya membutuhkan
penjagaan ekstra dari burung burung yang awas hendak memangsa. Aku berpikir,
apakah burung burung itu bisa dibodohi dengan suara kerencengan kaleng kaleng
butut padahal tak ada satupun yang hendak menangkapnya, bisa jadi mereka sudah
sangat terbiasa dengan itu bukan? Sepertinya cara kuno ini harus diganti.
“Belajarlah yang rajin. Buka setiap lembar rahasia dunia
dengan tanganmu.” Ia menggenggam tanganku, responnya atas memprotes cara kuno
mengusir burung.
“Baik abah.” Anggukan adalah kepatuhanku padanya. Aku tak
pernah percaya bahwa abah hanya lulusan SD, dia banyak tahu soal langit, soal
awan, bintang dan rasi. Pembawaanya yang kalem dan bijaksana layaknya sarjana begitulah
yang aku dengar dari orang orang sekitar. Apa yang ia utarakan sangat kontras
dengan profesinya atau alam mendidiknya? Tapi apakah kebijaksanaan harus
diperoleh dari bangku sekolah? Entahlah. Sepertinya langit abah juga berbagi
mengenai kebijaksanaan.
“Abah, awan yang disebelah sana terlihat seperti permen
kapas yang tempo hari kita beli di pasar malam dekat kantor kecamatan. Apakah
nama awan itu?” Telunjuku mengacung pada gumpalan awan putih diikuti oleh bola
mata yang mulai layu itu, sudah banyak hal terjadi dan lewat jendela itu abah
banyak belajar melihat lebih jauh mengenai dunia sepertinya.
“Itu awan stratus. Gumpalan awanya sangat membantu
meneduhkan mu dari sorotan matahari yang kadang mengganas. Pernah mendengar
kisah payung awan?” Aku menggeleng dengan penuturannya. Sehebat itu kah sampai
awan membantu meneduhkan seseorang? “Dia sangat hebat nak, awan awan kita dan
bahkan langit dalam satu komando patuh atas titah yang dikirim untuk digenggamnya.
Rasul terakhir kita, Nabi Muhammad Shalallahu
‘alaihi wassalam. Beliaulah yang dinaungi awan awan saat berjalan. Selain
penyimpan rahasia dan penjaganya nak, langit kita seperti pasukan dalam satu
komando pula.” Jelasnya dan matanya menatap lekat ke arah langit “Lihatlah
pergeakan awan awan diatas kita.” Mataku mengikuti telunjukanya. Awan awan terlihat
berarak mengikuti angin, layaknya pasukan dalam satu komando mereka bergerak
tenang tanpa pembangkangan.
“Kita bergerak dalam satu komando nak, semua alam ini
tumbuh dan berkembang dalam satu komando sehingga bisa selaras dan seirama
penuh dengan harmoni. Tak ada satu pun
bagian dari alam yang menentang titah yang ditanggungnya. Matahari tidak pernah
membangkan untuk duduk di singgasana, bulan tak pernah enggan menggantikannya
saat malam, awan mengikuti perintah angin, pohon pohon tumbuh dan berbuah, air
jatuh dari langit, lautan tidak tumpah, seluruh semesta bergerak dalam
orbitnya, dalam jalurnya masing masing. Semua dalam satu komando. Lukisan
langit yang selalu kita lihat pun nak, dalam satu komando.”
“Apakah rasi rasi bintang yang selalu kita lihat,
pernahkah diantara mereka bergerak melenceng dari komando yang ditetapkan
atasnya? Siapa tahu bukan? Mereka terlalu jauh untuk teramati abah” Aku menatapnya
penuh tanya, ia balas menatap ku lembut. Angin menggoda barisan padi yang membuat
mereka terkikik menyela sepi antara kami. Abah masih bergeming dan sebuah
senyum sabit terbit diwajahnya yang telah digores waktu sehingga kendur disana
sini.
“kita akan melihatnya malam ini kalau kau ingin tahu.
Cepat kemas kembali peralatan makan dan istirahatlah di rumah. Kerjakan tugas
mu dan kita akan menatap langit malam ini dengan sudut pandang yang berbeda.”
*
Mamak sempat melarang ku untuk pergi bersama abah,
khawatir bertemu ular dipematang atau jatuh terperosok karena kurangnya
penerangan. Mamak memang selalu berlebihan. Tapi abah memang pandai memenangkan
mamak yang langsung luntur meleleh patuh. Nampaknya matahari yang mengajarkanya
melembut saat menghadapi batu es pemikiran mamak. Perizinan dari mamak tidak
seberapa dibandingkan betapa lebih cemasnya aku kalau tak kemana mana malam
ini, dihantui rasa penasaran yang menggelitik pikir ku yang rasanya tidak tahu
apa apa. Tapi kami berhasil keluar dan menjejaki malam.
“Bah! Kenapa orang orang menyatukan bintang bintang
menjadi pola pola di angkasa?” Abah yang sedang menggelar tikar dan memasang
lampu minyak beralih mengamatiku. Ia menepuk tikar disebelahnya dan menyuruhku
untuk duduk.
Aku bersiap dengan kisahnya, tak pernah kami sedekat ini
sebelumnya entah kenapa. Kami memang dekat, tapi tidak sedekat ini. Rasanya
abah banyak bercerita akhir akhir ini.
“Rasi dibentuk oleh orang orang sebelum kita. Dengan
berimajinasi mereka menyatukan pola pola bintang dan membentuk berbagai hal
yang kita ketahui sekarang. Seperti pahlawan di barat sana, namanya orion
dengan lawannya rasi scorpio, mereka tidak pernah bertemu dalam satu kanvas
langit yang sama.” Aku menatap tiga bintang lurus bersinar disana, kata abah
itu bernama orion belt “Diselatan sana bernama crux lalu panah itu adalah bagian
dari rasi sagitarius. Rasi paling besar bernama perseus.” Mataku menjamah
langit membujur dari horizon barat lalu ke timur. Orang orang begitu jauh
memikirkan setiap pola dari bintang yang bahkan hanya berdasarkan imajinasinya
saja. Namun dengan pola pola itu, menemukan bintang jauh lebih mudah. Apakah
dalam kehidupan pun kita memerlukan sebuah pola untuk tahu hendak ke titik
mana?
“Bah, bintang bintang sepertinya terlihat selalu
sama. Mereka mengikuti satu komando itu
pula?” Tanyaku dan dia kini balik menatapku. Rasanya waktu memakan abah terlalu
cepat. Diusinya yang ke 50, dia terlihat seperti berusia 60 tahun dan jauh terlihat lebih letih sekarang.
“Bintang bintang di atas pun mengikuti komando nak.
Bayangkan bila satu bintang di rasi orion tiba tiba bergerak berlawanan arah.
Bisa kau bayangkan mereka tidak akan membentuk garis lurus lagi. Atau mars
lepas dari orbitnya dan kita selama ini berlindung di baliknya dari benda benda
angkasa yang mungkin akan menghantam kita? Semua dalam satu komando nak.”
Aku tertegun menatapnya. Pikirku mengawang jauh, sangat
jauh. Mengenai seluruh semesta yang bisa dijangkau oleh pikirku. Semua berjalan
sesuai dengan titah yang mereka emban. Air secara alamiah jatuh dari tempat
tinggi ke tempat yang lebih rendah, matahari terbit dari timur dan tenggelam di
barat, elektron mengorbit inti layaknya planet planet mengorbit matahari,
muatan positif tarik menarik dengan muatan negatif dan seluruh kejadian yang ku
tahu, alam tidak menunjukan tanda tanda pembangkangan terhadap titah takdir
yang menyertai kehadiraya.
“Abah, apakah alam pernah melenceng dari komando ini? Pernakah?
Apakah segala bencana alam yang terjadi adalah pembangkangan?”
“Alam pernah berlaku berlawanan dengan titah takdirnya selalma
ini tapi tentu, dalam suatu komando nak. Api yang membakar Nabi Ibrahim berlaku
lain, ia dingin, tidak sedikitpun membakar Nabi Ibrahim. Atas sebuah komando
tentunya.” Aku mengangguk, mengingat kisah itu. Bagaimana Nabi Ibrahim di bakar
hidup hidup dan api menjadi dingin, atas sebuah komando.”Segala kekacauan yang
terjadi bukan ulah alam nak, mereka telah di set untuk patuh dalam komando.
Kita, kita yang memiliki kebebasan untuk membangun atau merusak, patuh atau
membangkang, diam atau bertindak, abai atau acuh. Kita bisa memilih nak dan aku
berharap kita bisa belajar dari bintang bintang diatas kita.” Matanya tertarik
kembali menatap langit. Angin berhembus lebih kencang dari sebelumnya, suara
nyanyian kodok terdengar bagai orkestra malam di tengah sawah, percis seperti
orgen tunggal yang meramaikan pasar malam di kecamatan.
“Kini langit berkisah apa pada abah?”
“Apakah dengan rasi kamu lebih mudah menemukan bintang
nak?” Aku menangguk mendengar pertanyaanya.” Itu seperti hidup kita. Tak ada
yang lebih berharga dari tujuan hidup kita, layaknya ikan adalah tujuan bagi
seorang nelayan. “ dahi ku mengerut mendengr penuturanya tak paham, ia membalas
dengan senyuman.
“Seperti kau mencari bintang kesukaanmu anthares,
bukannya jauh lebih mudah saat kau menemukan scorpio terlebih dahulu? Itulah
pentingnnya sebuah pola kehidupan nak, petunjuk! Pola pola itu seperti gambaran
utuh dari potongan puzzel yang hendak
kau susun. Gambaran utuh merupakan petunjuk untuk memudahkan kita dalam
bergerak dari satu titik menuju titik lain membentuk pola yang memang kita
kehendaki, pola yang telah tergambar. Garis garis yang menuntun setiap titik
itu adalah komandonya nak. Komando semesta.” Orion di barat menggodaku untuk
menarik setiap titik terangnya menjadi pola seorang pemburu dengan pedang dan
perisai. Aku tak mengerti semua yang abah katakan, tapi itu menghantam ulu hati
dan menimbulkan perasaan yang campur aduk, tak terjelaskan.
“Abah! Aku belum mengerti semua yang abah katakan.
Mengenai komando, pola, puzzle dan titik. Tapi itu gagasan yang luar biasa.
Setiap kali aku melihat bintang, aku akan memandang mereka dengan cara yang
berbeda sekarang. ” Ia mengangguk mengusap puncak kepalaku.
“Tak apa. Abah hanya ingin kau mengingat hari ini saja.
Bergeraklah dalam satu komando, maka seluruh semesta akan bersamamu. Dalam satu
komando bismillah.”
Ia tahu, aku terlalu kecil untuk paham namun memang sudah
tidak ada kesempatan selain hari itu. Langit hanya menyimpan rahasianya tapi ia
tak pernah membagi tabir takdir yang akan dialaminya, karena ia pun tak
mengetahuinya. Itu adalah kecupan terakhir abah dan langit pada malam itu
adalah wasiatnya.

Komentar
Posting Komentar