Hitam Putih
Kehidupan jadi nampak hitam putih yang ku tahu setelah ibu pergi, tak
pernah ada warna lain lagi yang bermain karena rasanya kehidupan selalu
menampilkan hal yang sama setiap harinnya, tak pernah ada yang berubah. Hidup
hanya pengulangan yang di set setiap 24 jam dan masing masing dari kita hanya
menunggu jatah waktu kita habis. Termasuk aku, yang hanya menunggunya dengan
hari hari yang hitam putih itu.
Namaku Karmelia, mahasiswa baru di sebuah jurusan teknik di kampus ternama.
Ilmu pengetahuan hanya menjadi obsesi dari ketidak tahuan ku dengan apa yang harus
ku lakukan dalam sisa hidup yang entah kapan akan habis ini. rasanya melihat
dunia yang muram selalu membuatku jengah. Ditambah beban dari rasa bersalah
yang membuntuti setiap harinya.
“Semua adalah kesalahan mu,
salah mu. Kau seharusnya tidak pernah terlahir.” Kata kata
yang selalu dilontarkan ibu ku setiap kali kambuh. Ia mengalami depresi berat dan
sering kali marah hebat dalam keadaan tak sadar akibat alkohol. Ibu adalah
boneka ayah, yang akan menjadi manis didepanya dan menumpahkan semua
kemarahanya padaku. Jangan tanya ayahku, ia sama saja. Pekerjaan adalah cinta
seumur hidupnya, aku bukanlah apa apa dan Ibu hanyalah obsesi dari rasa
gengsinya, maka setelah mendapatkannya, ia hanya menjadikanya pajangan keluarga
ini yang bisa ia pamerkan saat acara acara kantor atau acara keluarga.
Katanya, aku telah menghapus dan mengubur dalam dalam mimpi ibu. Begitulah yang
ku tahu. Ia pun sangat menyesali pertemuan dan perjodohan dengan ayah, ia marah
dengan kelemahanya dulu yang tidak bisa menolak. Ia gagal meraih sebuah kerjaan
dari perusahaan yang diimpikannya, namun bukan itu yang membebani hidupnya, ia
merasa gagal untuk menjalani hidup yang diimpikanya dan melampiaskannya pada ku.
Hanya ibu ku yang selalu berteriak, namun entah kenapa rasanya seolah olah seluruh
dunia meneriaki hal yang sama. Seperti tak pernah ada yang mengharapkan ku dan
menyakitkannya aku pun tak mengharapkan diriku sendiri. menjalani kehidupan
kosong yang hitam putih, mendesak ku untuk malas menanggapi dunia. Aku hanya
menjalani hidupku sekedarnya saja. Rasanya tak pernah ada harapan yang kupunya
bahkan aku bertanya tanya memang seperti apa harapan itu? Aku hanya robot
kreasi kedua orang tua ku yang kini dikendalikan oleh keluarga besar untuk
melakukan ini itu. “Karmel harus ranking
satu”, “karmel harus masuk SMA X”,
atau “karmel harus kuliah di kampus Y
kerja di perusahaan Z” dan sebagainya. Dikendalikan oleh keinginan banyak
orang tanpa tahu hidupku yang sudah terlanjur hitam putih ini mau dibawa
kemana.
Perjalanan panjang hitam putih itu sampai pada kehidupan sebagai mahasiswa
baru. Namun tetap tidak merubah apa apa, masih sama, aku ingin segera berlalu
kehidupan kampus ini. Aku tahu, hidup yang ku hanya unutk membuang waktu saja
sepertinya. Jangan tanya apakah aku mendapat teman atau tidak, teman tidak
mempengaruhi kehidupanku sejauh ini dan aku memang tak pernah berhasil dengan
pertemanan. Pertemanan adalah hal yang tabu pada kehidupan hitam putih ku
sepertinya. Aku tidak berniat
memperhatikan orang orang. Namun, ada seorang anak aneh, yang selalu menenteng
kamera kemana mana dan mewawancarai setiap anak baru di jurusan kami, wajahnya
akan selalu tersenyum ceria tanpa cela dan setiap orang disekiranya akan
tertular senyum sabitnya itu memaksaku memperhatikannya. Karena hidup seolah
berputar lebih berwarna pada nya, tak seperti miliku yang hitam putih.
“Hei. namamu karmel kan?” tanyanya siang ini, dengan kamera yang masih di
tentengnya dengan tanpa komando duduk disebelaku dan mendistraksi fokus yang
sedari tadi ku bangun pada tugas yang memakan konsumsi energi otak lebih
banyak.
“Ya.” Jawabku singkat tanpa minat. Aku tak pernah berminat membangun
percakapan dengan siapapun disini, dicap apatis tidak menjadi soal. Aku akan
belajar dengan giat dan lulus dengan cepat. Menceklis apa yang keluarga besarku
inginkan, yang salah satunya adalah lulus dari kampus ini.
“Kau sangat serius dengan pelajaran mu.” Ia dengan tidak sopanya mengambil
salah satu buku ku. Membuat mataku kini teralih padanya dan memicing curiga.
Entah apa yang ada di otaknya kini.
“Ya. Dan aku harap kau tidak
mengganggu ku. Aku mohon.” Aku mengatupkan kedua tangan di dada, berharap ia
akan pergi namun ia malah tertawa. Aku semakin kesal di buatnya.
“Kau terlalu formal. Bukan kah kita berteman? Aku ingin meminjam satu buku
mu ini. bye.” Dia pun berlalu membawa buku ku dan aku hanya terpaku melihatnya
yang tersenyum sumringah membawa buku yang sedari tadi aku baca. Bocah sialan!
***
Warna warni kehidupannya seolah berbanding terbalik dengan ku, kami memang
sangat berbeda, begitu kontras. Kejadian kemarin membuat kami terlibat lagi
dengan perbincangan, perbincangann yang garing memang karena aku tak menaruh
minat. Namun berada di dekatnya membuatku menjadi bertanya tanya, bagaimana bisa
tersenyum selepas itu? Tidakkah ia berpikir begitu berat untuk bisa tersenyum
seperti itu? Bagaimana rasanya bisa berbincang dengan banyak orang? dan bisakah
menaruh warna pada hidup yang telah terlanjur hitam dan putih?
Aku kembali mengingat kapan terakhir kali aku tersenyum lepas, mungkin saat
keluarga besar membuat acara berlibur di villa. Saat itu ayah pulang dan rehat
dari pekerjaanya dan ibu dengan dunianya yang sunyi namun tanpa pemberontakan
dijaga dengan beberapa suster pribadi. Aku, aku asik dengan dunia ku, berlarian
melawan angin, membuat perahu kertas yang dihanyutkan pada kolam renang dan
malamnya aku akan melihat bintang bertaburan dan kehidupan jadi begitu luas
setelah melihat mereka beratrksi di angkasa. Itu yang membuatku tersenyum
lepas, entah bagaimana aku membagi beban ku bersama mereka. Kehidupan terasa
lebih luas saat menatap langit waktu itu. Itu adalah terakhir kalinya, karena
pada esok harinya, ibu ku ditemukan meninggal karena over dosis obat penenang.
Sejak hari itu aku sadar bahwa semua adalah kesalahan ku dan memang itu yang
selalu ku pikirkan.
“Mel, punya buku Reymond Chang?” aku sudah tidak terkejut lagi dengan
kehadiranya yang tiba tiba. Entah perasaan ku saja, ia selalu bisa menemukan
ku. Entah itu di kantin sebelah masjid, di taman, perpustakaan selalu dan
selalu dia yang pertama menyapa ku setiap harinya. Kehidupannya menjangkau satu
kampus kami sepertinya.
“Di perpustakaan banyak.” Jawab ku singkat. Ia hanya terkekeh dan menggaruk
kepalanya yang tidak gatal. Ia tak pernah terlihat tersinggung dengan jawaban
ketusku dan aku kembali bertanya, sebegitu menyenangkan kah dengan
kehidupannya? Melihatnya tertawa kadang membuat lubuk hati ku mendesir, ingin
tertawa bersamanya pula. Namun disatu sisi tak ada yang layak untuk sisa
kehidupan ku dengan warna, aku tidak dilahirkan untuk itu. Karena kesalahan mengiringi
kelahiran ku, aku merasatak layak untuk bahagia.
“Hei! dua hari lagi akan ada acara Orionid, diselenggarakan oleh angkatan
kita untuk gathering bareng kakak
kelas. Kau akan datang kan?” masih fokus dengan buku ku, aku hanya menatapnya
sekilas, tak ada yang menarik dengan kegiatan bertemu orang banyak.
“Nggak tahu. Gimana nanti” ia malah
menyodorkan sebuah tiket pada ku, yang langsung
ku angsurkan, enggan menerima.
“Ini tiket masuk Orionidnya, semua anak dapet tinggal kamu. Simpen aja
dulu. Ada pengamatan bintang juga, kan gatheringnya
di luar ruangan dan langit lagi bagus di bulan kemarau.” aku menatap tiket
berwarna bitu tua dengan beberapa konstelasi menghiasi tiketnya. Sudah lama aku
tidak menatap langit malam, bolehkan untuk sekedar datang?
***
Merasa bahwa segala kesalahan ku tanggung sendirian dan perlu untuk
menebusnya dengan manut pada keluarga menurutku akan mengurangi beban dan
mengahabiskan hidup dengan jauh lebih riang setiap harinya, ternyata tidak. Aku
melihat bagaimana lelaki dengan kamera itu menjalani hidup penuh warna, senyumnya
menyiratkan ringannya beban, walau pasti ada beban yang menggunung memberati
bahunya namun tak ia tunjukan. Bagiamana ia bisa begitu bebas menikmati dunia?
Kenapa tidak denganku? Yang hampir setiap hari hanya menumbuk tanah karena
beban kesalahan atas kematian ibu ku sendiri yang membuatku terjebak pada hitam
putih. Namun siapa sebenarnya yang bersalah disini? Dan aku menjalani kehidupan
siapa sebenarnya? Hari ini, untuk pertama kalinya aku bertanya tanya mengenai
kehidupan ku sendiri. aku mengakui betapa melelahkannya dengan berpura pura
kuat, berpura pura baik baik saja dan merasa semua akan selesai sendirinya suatu
hari nanti. Ternyata tidak! Begitu sakit bisa melihat orang orang tersenyum
dengan mudahnya, dan aku hanya mampu membentuk satu garis lurus saja di
wajahku. Tidak kah aku layak untuk satu warna saja?
“Kapan semuanya akan selesai?” Bisikku pada langit malam yang seramai di
lapangan ini sekarang oleh anak anak di jurusan ku dan kakak tingkat yang
berada satu tahun diatas kami. Ya, aku menghadiri acara Orionid sekarang.
Terjebak di keramaian orang dan merasa
sepi sendirian. Kenapa aku jadi begitu melankoli sekarang? Rasanya tidak
mengenakan.
“Masih lama, kita belum acara puncak.” Sebuah suara mampir dan seperti
biasa dengan tanpa izin duduk di sebelahku. Aku sudah mengenal suaranya dan
bagaimana ia akan tiba tiba datang dan duduk atau menyapa.
“Oh. Rasanya tidak mengenakan dengan banyak orang.” Membuatku lebih sesak. Ia hanya terdiam, tak menanggapi ucapanku
dan langusung mengeluarkan kameranya. Menunjukan padaku hasil tangkapan
kameranya. Kini fokusku teralih pada foto foto yang ia ambil, semua foto penuh
warnanya. Pepohonan di taman kampus, dua satpam penjaga di parkiran belakang
yang sedang mengopi, kucing kucing kampus yang sedang makan dengan lahapnya,
langit dengan arak awan dan foto malam hari dengan tiga bintang sejajar, Orion
Belt. Menyadari air muka ku, ia menghentikan tanganya untuk tidak memindahkan
pada gambar yang lain. Aku hanya terdiam.
“Kau mengenal mereka?” aku mengangguk. Bagaimana tidak? mereka konstelasi
favoritku dulu dan aku menyukai mereka.
“Orion Belt. Tiga bintang sejajar rasi Orion. Aku menyukai Alnilam, dulu.
Tapi sekarang aku merasa tak layak untuk menyukai sesuatu.” Ia mengerutkan
dahi, mungkin mencoba mengerti apa yang ku pikirkan. Bodohnya aku mengatakan
itu pula padanya. Ia dengan kehidupan penuh warnanya tidak akan mengerti apa
apa.
Kami tidak melanjutkan perbincangan, karena dia sebagai ketua angkatan pasti
dibutuhkan banyak orang. Siapa aku yang harus menyita banyak waktunya? Aku
kembali pada kesendirian dan kesenyapan bersama riuh orang yang lalu lalang.
Acara puncak pun tiba, tepat di jam dimana Orionid diprediksikan melesat di
angkasa. Ya, acara ini juga sekaligus acara pengamatan Orionid yaitu hujan
meteor dengan titik radial di rasi Orion. Saat lampu lampu dimatikan, beberapa
siap sedia bersama teropong bintang mereka, aku sedikit menepi mencari tempat
yang pas untuk mengamati, rasa penasaran ku yang menarik untuk menatap mereka.
Aku masih layakkan untuk sekedar menikmati langit hari ini?
“Mel, sini.” Sebuah suara menariku mendekat. Lelaki dengan kamera itu
memiliki teropong bintang juga. Tepat saat aku mendaratkan pantat ku, lelaki
itu berseru menunjuk langit malam. Aku melihat beberapa cahaya melesat
diangakasa, entah apa yang mendorongku untuk terus menatap langit setelah
lesatan cahaya itu lenyap. Karena setelah sekian lama aku bisa menikmati langit
dan merasa bebas.
“Lihat apa yang aku tangkap mel.” Ia memberikanku kameranya, aku tidak
menatap lesatan bola cahaya diangkasa di layar kameranya, namun aku menemukan
diriku disana, diriku yang lain dengan sebuah senyuman disana. Aku tersenyum
dalam foto itu, senyum yang nampak asing bagiku. Aku menatapnya dan ia balik
tersenyum kearahku.
“Aku tak tahu apa yang kau rasakan atau apa yang kau pikirkan. Tapi kau
layak dengan sebuah senyuman Mel. Senyuman layak untuk terbit disana.” Ia
menunjuk wajahku, menarik simpul di wajahnya dan membuatku menarik senyum pula
di wajahku. Ada sebuah perasaan aneh mampir di hatiku yang lebih peka karena
kering kerontang. Mungkin ini yang namanya bahagia? Karena seseorang merasa aku
layak untuk bisa tersenyum yang bahkan tidak pernah diizinkan oleh diriku
sendiri. Inikah langkah awal untuk keluar dari dunia hitam putih ku? karena
seseorang menunjukan warna warninya dunia. Mungkin aku hanya perlu mengizinkan
diriku kembali tersenyum, kembali bahagia dan kembali melangkah dan melihat dunia
penuh warna sepertinya. Seperti lelaki didepanku dengan dunia yang selalu dibawanya
penuh warna. Kenapa aku tidak coba saja untuk berjalan perlahan mengumpulan
satu persatu warna yang hilang?

Komentar
Posting Komentar