Cicalengka-Caheum



Ini tentang perjalan kemarin malam, saat langit bersedih meratap dan berkisah pada bumi yang telah lama menjadi pundak setia berbagi suka dan duka. Hari ini ia masih tampak murung, memberi kode pada bumi untuk bersiap, karena tangisnya akan segera tumpah. Bersamaan dengan ratap langit, aku menekuri pepohonan di dekat masjid alun alun cicalengka yang menjulang 10 meter di depan, bersama anak anak yang berlarian diantaranya. Kembali membangun dimensi dalam kepala, memutar kejadian tadi siang saat sebuah pesan yang sama kembali menyapa setelah sekian lama.

“apakah harus kita lanjutkan?” tanpa basa basi yang sangat dibencinya itu, ia langsung bertanya mengenai hubungan kami, yang seperti siklus air, seolah telah bermuara namun ternyata tak kemana mana. Ia kembali membuatku berpikir. 

“Memangnya harus seperti apa?“ balas ku dan hanya disambut sebuah tanda bahwa pesan itu telah dibaca namun tak kunjung ia jawab. Menit menit mengerayapi ku dengan ketakutan dan kegamangan. Sudah pasti, ia membencinya.

Benang dimensi itu semakin kusut dalam kepala, aku tak tahu bagaimana ini dimulai dan seperti apa ini harus berakhir. aku tak ingin melepas apa yang telah ku genggam namun aku tak berani untuk melangkah. Aku selalu ingin berteriak padanya bukan kah ini sudah cukup? Hubungan kami yang seperi ini pun sudah cukup. 

Telah beberapa kali ia bertanya, apakah masih bisa dilanjutkan hubungan yang bahkan tak memiliki ikatan? Lamunanku kini berpindah tempat. Kembali pada tiga tahun lalu, saat kami dipertemukan semesta sebagai dua orang baru, dua orang yang membawa masing masing variable yang disatukan semesta dalam satu persamaan untuk kami percahkan, misteri apa dibalik pertemuan kami waktu itu. Hanya sebuah pertemuan sederhana dari ras Adam yang dikemas oleh waktu dan semesta di sebuah perpustakaan sederhana dekat pusat perbelanjaan di jantung kabupaten sumedang. Hanya itu, pertemuan itu yang membawa kami sampai hari ini. Arus waktu membawa kami semakin dalam pada ketidak pastian. Pertanyaan atas pertemuan itu masih belum terjawab. 

Aku melanjutkan perjalanan, kini menuju stasiun cicalengka dengan jurusan stasiun kiaracondong untuk sebuah urusan. Dalam rangka penghematan, aku memutuskan untuk berjalan, sembari kembali memikirkan, apa langkah selanjutnya saat masing masing dari kami sudah jengah. Aku jengah dengan terus berpura pura tak ada apa apa diantara kami, dan ia pun jengah dengan aku yang seperti itu, ia meminta sebuah kejelasan hubungan. Aku tak merelakannya pergi  namun aku tak mau kami melangkah bersama dan saling berbagi. Aku tahu, ini memang egois dengan tangan ku yang tak ikhlas untuk melepas.

Sebuah pesan darinya masuk setelah aku mendapat karcis dari mas penjaga loket. Sebelum melewati gerbang pemeriksaan, aku membacanya. 

“aku ingin kejelasan. Itu saja.” katanya singkat. Aku menunggu berjam jam untuk hal yang sebenarnya sudah ku ketahu selama dua tahun terakhir ini. aku hanya mengamati layar yang menampilkan ruang obrolan kami, tak ada pesan lagi. Ia menungguku namun aku pun menunggu diri ku untuk berani sampai hari ini. karena jawabnya pasti sama, aku tak bisa kemana mana.

“tetap seperti ini saja. kita berpura pura tak ada apa apa.” Aku hanya mampu menjawabnya seperti itu, hal tersisa yang bisa ku lontarkan padanya. Pesan itu dikirim dengan tangan ku yang gemetar, sembari menahan pergolakan yang memelintir perut dan benang benang dalam kepala makin carut marut. Sampai kedatangan kereta aku hanya bisa merajuk pada semesta, bisa hilangkan aku saja sementara?

Jejak jejak sendu masih belum hilang, bahkan langit semakin parah saat sampai stasiun rancaekek. Ia tumpah, mewakili tangis ku yang tak mungkin pecah  di tengah penumpang kereta. Masih tak ada jawab darinya sesampainya di stasiun cimekar yang kini gemerlap karena tengah di bangun masjid nan mewah di sisi kanannya. Aku masih menunggunya. Apakah harus berakhir sekarang? Hari ini? seperti ini? Dengan  bayangnya saja yang maya dalam jemala?

Aku tahu, tak ada yang salah dari permintaanya, aku saja yang enggan dan tak berani melangkah. Karena apa yang mau kami ambil di garis akhir hubungan kami dengan perjalanan yang masih panjang. Bahkan hubungan yang pasti tak menjamin membawa pada kepastian apalagi sebuah status kosong anak remaja setengah dewasa yang kasmaran. Aku tak mau melangkah namun tak siap melepas. Ini hal yang menyulitkan sekali. Kenapa untuk lupa tak semudah saat jatuh cinta? Aku tak siap kami yang akan jadi bukan siapa siapa. Itu saja.

Sebuah stasiun yang cukup terang dengan dua mini market di dalamnya menyambutku. Stasiun kiaracondong. Aku menunggu kereta benar berhenti sembari membawa diri mendekat pintu keluar. Takut diserobot penumpang yang mau masuk tak sabaran. Langit menjadi hitam dan sembab ditambah pundak bumi kiaracondong basah habis oleh hujan, mataku masih melihat jejak jejak sepatu atau kaki yang melewat di jalan yang sudah dicor itu, di bawah temaram lampu jalan. Melihat banyak orang yang pada hari itu melewati jalan yang sama namun secara tidak sadar dipertemukan semesta. Aku bertanya kenapa waktu itu, dantara banyaknya pengunjung perpus kenapa harus dia yang ku temui, kenapa secara sadar aku menyadari keberadanya. Dan Perpustakaan hanya tempat pertama saja, sisa wilayah jatinangor pun menjadi saksi setelahnya. Benang telah mengikat kami untuk tiga tahun lamanya mengikuti arus waktu tanpa ketidak pastian.

Masih belum ada pesan masuk, sampai aku naik angkutan umum no 01, jurusan kalapa caheum via binong. Angkot melaju serampangan yang kontrasnya sedang menyetel lagu BCL “ku cinta kau”. Aku fokus ke jalanan sembali kembali membangun dimensi lamunan. Semua papan di jalanan ku baca satu persatu, dan menemukan sesuatu yang menarik, bertuliskan “Stays together”. Bagaimana bisa untuk selalu bersama dengan ingin kami yang berbeda? Aku mengumpat jadinya pada papan yang tak tahu apa apa. Namun aku justru jadi berpikir, rasanya akan menyakitkan bukan bila menggenggam apa yang bukan selayaknya ada di tangan? Selama ini menyakitkan sekali untuk terus berpura pura tak ada rasa dan bisa saja. Mungkinkah memang ia tak layak digenggam dan dipertahankan? Harus kah ku katakan detik ini juga? Dengan tahunan yang dibayar luka? Bukan kah selama ini pun kami sama sama terluka?

“maaf”
Satu kata itu saja yang akhirnya bisa ku ketikan sesampainya di tujuan dan membayar  lima ribu rupiah untuk wahana pacu jantung jalanan dengan lagu BCL nya. Ia langsung membacanya namun tak ada jawab. sampai hari ini, tak ada jawab dan keberadaanya. Mungkin Ia tahu, maaf itu untuk jawaban tiga tahun pertemuan yang ternyata hanya untuk dipisahkan dan kembali menjadi penduduk asing semesta. Jangan salahkan hujan kalau ia turun akhir akhir ini, karena ia mengadu pada bumi bersama ku.

******************

Komentar

Postingan Populer