Aku dan Whisper of The Hearth
Tiap orang menyikapi setiap emosi itu beragam. Ada yang mengategorikan emosi positif, negatif, netral -mungkin kalau ada. Ada juga yang menolak suatu emosi dan menjunjung emosi lainnya. Walaupun tokoh Sedih di film Inside Out dimusuhi oleh beberapa akun yang ditemui pas berselancar di twitter, tapi Sedih sering dicari kalau dalam periode tertentu nggak datang. Sedih yang bikin nangis gitu.
Nah hari ini abis nonton salah satu film dari studio Ghibli judulnya Whisper
of The Hearth live action sekuel dari animasinya dan mengambil latar
10 tahun kemudian dari animasinya. Film ini adalah kasta tertinggi dari film favorit dari studio Ghibli . Walaupun kadang suka kejar-kejaran posisi dengan Howl Moving Castle
tapi WOTH adalah film yang bikin mikir lah, lagi difase ini juga atau
mungkin dikenal dengan sangat relate baik nonton animasinya dulu pas
masih kuliah atau nonton ini di usia mau 25 juga.
Whisper of The Heart ini nyeritain Tsukushima Shizuku dan Amasawa Seiji
dengan mimpi mereka dan perjalanan mewujudkannya. Shizuku diceratain sebagai anak SMP pecinta
fiksi yang mulai bermimpi untuk menulis. Kesampingkan kisah romansa manis antara
Shizuku dan Seiji, namun emang mimpi itu dimulai di toko milik Kakek Seiji, Nishi
Shiro yang gak sengaja dikunjungi Shizuku karena ngejar kucing yang bernama Moon. Shizuku
mendapat dorongan untuk bermimpi dan memulai menulis setelah melihat gimana Seji
begitu berambisi dengan mimpinya, ia pun merasa bersemangat dan tertantang
untuk menyelesaikan cerita pertamanya. Namun ditengah jalan, ia mulai ragu.
Kakek Seiji mulai cerita soal mimpi dan bilang kalau hanya Shizuku yang tau
soal mimpi dia atau mau jadi apa dia kedepannya. Semua pilihan itu bisa dia temuin dalam dirinya sendiri. Di sini digambarkan kalau
setiap orang itu punya kemampuan dan ada sesuatu yang istimewa dalam diri kita.
Kita tinggal mencarinya. Tapi khawatirnya gimana kalau ternyata gak ada yang spesial
dari diri kita setelah sekian lama mencari? Namun di usia remaja baik Shizuku maupun
Seiji sangat bersemangat dengan mimpi mereka.
Sepuluh tahun kemudian Seiji berada di Itali, masih dengan mimpinya untuk menjadi pemain cello professional dan Shizuku di Jepang yang masih menulis banyak naskah sembari bekerja sebagai seorang editor. Keduanya berjuang dengan mimpi masing-masing yang dirasa sudah mulai pudar kekuatannya. Tidak seperti dulu ketika mereka masih usia 15 tahun yang begitu semangat mengungkapkan mimpi mereka masing-masing. Di usia 25 mimpi itu mulai menjadi pendar samar. Setelah sepuluh tahun, mimpi itu masih belum membawa mereka ke tempat yang mereka mau.
Detail cerita bisa kalian tonton aja di Nerflix dan kalau yang live action
gak tau di mana btw karena itu download dari orang random di twitter yang post
link filmnya. Keseluruhan film ini mirip sama lagu Taylor Swift yang liriknya
“How can a person know everything at 18 but nothing at 22”
Salah satu line paling ngena di lagunya yang berjudul “Nothing New” karena ya, dulu ngerasa menggebu-gebu gitu dan super
ambis karena tau banget mau kemana trus pede pisan wkwkwk. Ini bikin inget sama
mimpi pertama yang ditulis di mana mana, kuliah di ITB. Dulu bikin mimpi ini bareng temen ambis belajar di
SD. Alasan masuk ITB sangat simple dulu karena ngefans sama BJ Habibie dan kata mamah orang-orang ITB itu pinter. Karena anaknya
seneng banget keliatan keren dan pinter, maka akhinya memutuskan lah untuk bermimpi
ke ITB.
Mimpi bertahun-tahun itu kandas di tahun 2016 karena tidak lolos SBMPTN dan
masuk UNPAD. Di usia itu, nggak ngambil resiko untuk nyoba tahun depan
pertimbangan beasiswa dan mikir sekolah bisa di mana aja. Mimpi baru dari SMA
di bawa ke kampus karena dengan pedenya milih fisika di 3 kesempatan jurusan
pas SBMPTN. Yep! Pengen jadi dosen dan peneliti. Keren banget kan! Kisah ambis
di kampus di mulai dengan segala dinamika sana sini akhirnya lulus tahun 2020. Segala
keresahan pun mulai datang di tahun-tahun setelah lulus.
Sama dengan yang dialami dengan Shizuku pas pertama kali nulis ceritanya dengan semangat, sampe begadang buat nyelesain satu cerita itu. Ngerasa pengen ada hal yang dia kejar juga karena kagum sama Seiji yang udah tahu mimpinya. Tahun tahun berlalu dan banyak hal yang terjadi ternyata nggak semudah itu untuk bisa mewujudkan mimpinya. Well, mungkin bisa kalau udah ada uang pegangan dari ortu 2M dan tidak perlu mencemaskan kehidupan. Mungkin akan terbantu.
Shizuku mulai mempertanyakan tentang mimpinya ini karena naskahnnya yang gak
pernah lolos kompetisi dan hanya jadi tumpukan naskah di kamar lamanya. Pas liat
dia masukin naskah baru yang gak lolos di tumpukan naskah lain, pengen nangis. Dia
gak kerja dengan bener karena ngerasa kerjaan itu buat mengisi kekosongan
aja karena belum bisa jadi penulis akhirnya dia gak bisa all out dikerjaan. Merasa tersindir juga
Dia berusaha untuk mendengar kembali suara yang biasa dia denger dulu, tapi
entah kenapa suara itu gak pernah muncul. Rasanya perlahan mulai kehilangan
minat pada mimpinya karena keraguan itu mulai memakan dia dengan perlahan. Dia pun nyoba dateng ke toko kakek
Seiji tempat dia memulai mimpi, liat Baron-patung kucing yang jadi inspirasi
cerita pertama, dan ke perpustakaan. Tapi itu semua gak membantu, semua cuma bawa
kenangan pas dulu bareng Seiji.
Karena kegagalan yang terus menerus datang gini tuh bikin diri kayak kejebak di jalan gelap, badan udah lecet karena
sering jatuh. Kemudian akhirnya ragu kalau satu langkah
kedepan bakalan bikin masuk jurang dan susah untuk naik lagi atau worst casenya
gak bisa balik. Dalam diri tuh mikir ini bener gak ya ke kanan, apa ke kiri, atau maju aja. Kondisi itu yang bikin ragu-ragu
dan mikir ya udah deh daripada jatuh dah lah diem aja di kegelapan. Tapi di
kegelapan itu juga kesiksa rasanya kalau lama-lama, gak
ada cahaya sama sekali yang nuntun.
Ada ucapan dia yang lagi ngobrol sama temennya Harada Yuko dan calon suaminya pas abis scene Shizuku hujan-hujanan, liat dia huhujanan dengan ekspresi campur aduk gitu aja nangis . Shizuku bilang kalau dia ragu sama mimpi dia ke mereka berdua, dia ngerasa udah saatnya berhenti. Dia mulai bilang tentang apa yang biasa kita yakini tentang mimpi kayak, “Jalani aja nanti juga datang” atau “Usaha tidak mengkhianati hasil” Hal ini dikeluhkan sama Shizuku karena dia udah nulis selama sepuluh tahun dan nggak terjadi apa-apa tuh.
Kondisi terombang ambing ini membuat suatu luka tertentu yang ada di diri
sendiri. lukanya itu kita proyeksikan atas apa yang ada di sekitar. Kayak diproyeksikan
dengan kerjaan saat ini, keluarga, teman, atau pasangan. Hal yang dulunya
disambut dengan rasa syukur kini jadi media untuk sambat. Karena ada luka, segala
hal yang terjadi di dunia ini bikin luka. Padahal itu luka di diri aja
yang masih belum diobati atau masih denial kalau ada luka
Tapi nonton ini jadi bikin lega gak tau kenapa karena rasanya ada temen. Walaupun cuma fiksi gak apa-apa. Ngerasa ditemenin dan diwakilin sama Shizuku. Tapi emang bad things followed by good things ya. Shizuku memang tidak tiba-tiba jadi
penulis terkenal, tidak. Tapi dia jadi tau apa yang perlu dia lakukan akhirnya.
Ditengah jalan buntu, cahaya sedikit aja, atau celah kecil di tembok besar yang
ngehalangin adalah harapan. Itu yang dirasain di bagian akhir film.
“Segala keputusan itu beresiko, sialnya tidak mengambil keputusan pun keputusan
itu sendiri”
Ini tergantung seberapa besar nyali untuk bertaruh aja
sih. Bener-bener komitmen sama kehidupan dan menjalaninya dengan baik. Apa aja
mimpi itu, dia tidak statis, dia bisa berubah selayaknya manusia yang punya
mimpi itu juga berubah. Mimpi juga perlu waktu, kayak nanem pohon yang berharap
bisa panen suatu hari. Kalau mimpinya itu taneman jagung, ya jangan harap akan
panen dalam 4 harian kayak toge. Ada timelinenya ada masanya. Khawatir boleh,
diem dulu juga boleh deh, tapi gak bikin nyerah yaa.
Komentar
Posting Komentar