Mimpi dalam Dunia Dongeng
Bila kau bertanya siapa aku, aku akan menjawab bahwa aku
adalah buah dari kegagalan. Berawal dari kelahiran ku yang tidak diharapkan,
ibu yang lari entah kemana dan bapak yang hanya bisa mengangkat tangan dan
mendaratkan berbagai pukulan. Dari awal aku memang buah dari kegagalan. Ini
bukan hanya pendapatku, tapi satu kampung ini akan berbisik saat aku berjalan
melintasi mereka dan menggunjingkanku, mengataiku macam macam yang bahkan aku
sendiri tak tahu kenapa aku dilahirkan dan sekolah pun sama saja, aku telah
mendapat cap kegagalan itu dengan tidak menguasai ilmu hitung hitungan dengan
baik. Satu semesta sepertinya sudah mengutuku sebagai kegagalan, bahkan aku
selalu berpikir harus seperti apa hidup ku diteruskan.
Sudah tak ada tempat di satu semesta ini untuk
menerimaku. Ibu yang tak bertanggung jawab,
bapak yang selalu naik pitam, kampung ku yang menggunjing dan sekolah yang
hanya bisa mendikte ini itu, hanya pikirku yang menjadi tempat pelarian. Hanya
ruang dalam kepala ini yang disisakan Tuhan dimana aku bisa berlari, dimana aku
hanya berpikir tentang aku dan memikirkan bahwa hidup bisa lebih baik. Hanya
sampai disitu ruang untuk ku, bermimpi yang entah aku cukup sanggup atau tidak
menariknya ke dunia nyata. Tapi terkadang aku pun merasa terlalu berlebihan
membayangkanya menjadi nyata, bisa memikirkan nya saja sudah luar biasa bukan?
“Bangun! Sudah berapa soal yang berhasil kamu selesaikan
Risa?!” sebuah suara yang ku kenal membuyarkan dimensi yang ku bangun selama
beberapa menit terakhir. Aku mendapati guru ku telah berdiri disebelah kursi ku
dan matanya yang ganas berkilat itu semakin membara saat mendapati buku ku
masih suci tak ternoda.
“Maafkan saya bu.” Aku hanya bisa
menggaruk kepala dan menunduk. Ini memang sering terjadi dan aku hanya bisa
bersembunyi dibalik kata maaf saja.
“Apakah tidur bisa menyelesaikan masalah? Tidur bisa
membuat mu lulus dan mendapat nilai bagus? Bisa kah tidur menjadikan mu
sukses?”
Jalur linier hidup yang selalu ditarik seenaknya oleh
setiap orang dan nahas nya menjadi standar hidup banyak orang, menjeratku yang
mewujud jadi beban sosial, beban hidup ku sendiri saja sudah tak sanggup ku
tanggung, beban sosial terkutuk. Sekolah dan belajar dengan baik, lulus dengan
nilai baik, kuliah di tempat bergengsi, kerja mencari banyak duit, punya rumah
dan mobil mewah lalu menikah dan memiliki anak hidup bahagia dan tamat. Dongeng
yang membosankan.
Kehidupan manusia yang monoton ini seperti sampah yang
digiring di aliran sungai yang melewati rumah ku, semua berdesakan berharap
menuju muara yang sama dan aku tertarik ikut serta. Tak bisakah aku menjalani
hidup ku sendiri? Dengan apa saja yang bisa ku bangun dalam pikir ku? Karena
aku tak memiliki apa apa lagi.
“Ya saya tahu bu. Saya harus bisa menyelesaikan soal
untuk lulus, dengan itu saya kuliah lalu bekerja. Tapi itu adalah saya yang ibu
harapkan, bukan saya yang saya harapkan. Saya izin keluar bu, cuci muka. Maaf
menggangu ketenangan kelas ibu. Saya permisi” aku beranjak dari kursi dan
melangkah dengan agak goyah menuju pintu karena semua nyawa belum terkumpul.
Mereka boleh menghina keberadaanku, sikap ku atau apapun yang melekat pada ku
kecuali apa yang telah menjadi pemikiranku. Aku muak dengan standarisasi hidup
yang linier itu. Manusia bisa menjadi apa saja, mereka diciptakan untuk mengisi
kekosongan dunia dan aku menjadi dirikku yang bebas dengan pikiranya.
Aku lupa memperkenalkan satu tempat untuk berlari selain
kepala ku sendiri, yaitu kantin Pak Jajang. Dia yang menerima orang pelarian seperti
ku di sekolah bahkan tak jarang aku tak memiliki uang untuk sekedar membeli bakwan,
tapi ia dengan senang hati menampungku untuk duduk dan mendaratkan kepala di
meja, membiarkan ku terlelap sesaat. Aku terkadang membantunya melayani
pelanggan kalau bosan, membuatkan mie rebus, menyajikan minuman atau memotong
gorengan untuk membuat batagor. Aku tak pernah bertanya kenapa dia membiarkanku
merecoki hidupnya di kantin ini, sampai sampai ia mendapat julukan sebagai
penakluk Risa.
“Neng Risa, mau batagor gak nih?” sesampainya disana, aku
disambut dengan tawaran semangkuk batagor. Tapi karena pikirku kacau memasukan
batagor tak akan terasa nikmat.
“Gak ah makasih Pak Jajang. Risa ingin numpang mikir
aja.” Jawabku dan langsung mendaratkan kepala di meja panjang di depan
dagangannya. Kacau sekali pikiranku hari ini.
Kursi panjang di depanku bergeser ku pikir siswa yang
mencuri curi kesempatan karena kelaparan
duduk di sebrangku, ternayata yang ku dapati adalah Pak Jajang duduk disana. Ia
menyodorkan soda dingin dengan kepulan uap diatas gelasnya. Tak seberapa
sebenarnya harga soda itu, hanya saja aku merasa diperhatikan. Bahkan bapakku
tak pernah sebaik ini. Di usia Pak Jajang yang sudah setengah abad, ia masih berkorban
untuk istri dan anaknya. Iri sekali aku pada anak Pak Jajang, merasakan begitu
berharganya hidup karena ada yang berkorban untuknya, berkorban untuk menyaksikannya
tumbuh dengan baik.
“Soda buat dinginin kepala. Gratis. Anak Pak Jajang ulang
tahun hari ini.” ia tersenyum sumringah, kedua sudut bibirnya terangkat lebar
dengan kerutan di sekitar mata yang tampak sangat jelas, seolah seluruh semesta
berbahagia bersamanya hari ini. Termasuk aku, karena mendapat soda gratis dan
menyaksikan sebuah potret aneh dalam kehidupan serba cepat di abad ini.
“Salam buat anak Pak Jajang. Karena dia lagi ulang tahun,
Risa gak perlu bayar sodanya.” Aku menyedot sedikit dan air bening rasa lemon
itu meletup di lidah dan menyisakan kesegaran tersendiri saat melewati
tenggorokan lalu hilang sensasinya.
“Sama seperti kehidupan.” Gumamku pada diri sendiri.
“Kehidupan apa?” tak disangka pendengaranya masih tajam,
atau gumamanku terlalu kencang. Ia mengerutkan dahi dan bersiap untuk dipuaskan
dengan jawaban.
“Sensasi dari soda Pak Jajang atau bahkan makanan lainya
terasa singkat, hanya sepanjang ini.” aku menunjukan jarak antara lidah dan
tenggorokan dengan jari telunjuk dan jempol “Sesingkat ini Pak Jajang, seperti
kehidupan di dunia yang begitu singkat. Bahkan aku tak pernah berpikir bisa
sampai hari ini, duduk di banku kelas 12 SMA. Aku bahkan pernah berpikir hidup
lebih singkat. Tapi kalau dipikirkan, sampai hari ini pun terhitung sangat
singkat. Saat aku tertidur berkelana dalam mimpi yang sudah kemana mana, saat
terbangun rasanya itu perjalan singkat.” Tidak seperti yang ku prediksi, Pak
Jajang memberiku tatapan yang aneh menurutku, matanya yang senja itu lebih
cerah, seperti kaca yang tetiba dipoles. Memang ada yang aneh dengan yang ku
katakan? Bukan kah harusnya ia merasa ini adalah hal remeh yang dikeluarkan
seorang bocah yang 19 tahunnya adalah kegagalan.
“Benar sekali Neng Risa. Hidup sesingkat pergantian
langit senja, menjadi mega lalu gulita. Lihat, Pak Jajang ini sudah setengah
abad dan tinggal menunggu jatah waktu habis saja berbeda dengan Neng Risa yang
perjalannya masih sangat panjang.” Aku menyimaknya dan sungguh tidak adil
pemikiranku bahwa ia hanya Pak Jajang seorang penjaga kantin yang baik hati, ia
luar biasa.
“Tapi pak, kita sama sama menunggu jatah waktu kita habis
juga kan? Entah apakah aku akan lebih dulu sampai di garis finish kehidupan
atau Pak Jajang. Kita sama sama di loket antrian yang menunggu giliran untuk
sampai. Entah aku didepan atau dibelakang Pak Jajang” ia tersenyum mendapati
pernyataan ku. Ini perbincangan panjang pertama kami, dan kini seseorang
mendengarkan ku, bukan hanya pikiranku saja.
“Dari mana semua kata kata ini Neng Rsa dapatkan?” aku
tahu ia pasti akan mempertanyakanya, satu semesta pun akan heran. Aku tertawa.
“Buku Pak Jajang dan orang orang hebat yang Risa temui. Ada
perpustakaan dekat toserba, Risa sering main kesana dan membaca beberapa buku,
kadang berbincang dengan pemilik perpustakaan. Ya, dia tidak sebaik Pak Jajang
tapi mengizinkan Risa berkeliaran disana.”
“Saya measa tidak adil karena kadang memikirkan hal yang
tidak baik tentang neng risa.”
“Aku tahu pak, bahkan kadang pikiran saya pun tidak adil
menilai orang. Tidak apa apa.”
Bel istirahat berbunyi dan alaram bagi Pak Jajang untuk
bersiap melayani segerombolah perut yang lapar. Aku menyedot habis soda ku dan
mulai ikut membantu Pak Jajang. Mungkin ini hal baik yang bisa ku lakukan.
***
Hari kemarin berlalu dan aku sampai pada hari ini, mulai
memintal benang baru dan menutup sejenak dimensi yang kubangun sendiri dalam
alam pikir bernama mimpi. Kembali menjalankan rutinitas dunia dongenku yang
suatu hari nanti menjadi sebuah mimpi di dunia baru setelah mati. Dongen apa
yang hendak ku ceritakan nanti pada penduduk semesta, mungkin sama seperti yang
mereka punya. Presentasi akan sangat monoton nantinya semua akan berkisah kelahirannya,
dari yang lemah tak berdaya, bisa berjalan dan membaca lalu sekolah, lulus,
bekerja, menikah, punya anak dan cucu lalu mati. Karena penduduk semesta ini
menuntut hal yang sama, pasti dongen kami hanya berbeda sedikit saja.
Lebih nahas dari kemarin, aku mendapati gerbang sekolah
sudah di tutup. Kultum bergema di seantero sekolah dan aku menunggu tujuh menit
itu berlalu untuk digantikan dengan hukuman. Banyak sekali yang terlambat hari
ini, entah aku akan berhadapan dengan apa. Jalan bebek, membersihkan taman,
ikrar untuk tidak kesiangan. Semua hukuman sudah aku hapal ternyata.
Gerbang di buka dan neraka menyambut kami sekarang dengan
mata tajam menyalak penjaga piket yang kelelahan dengan keberadaan kami, terlebih
aku. Sudah ada beberapa sapu lidi di bawah kakinya dan sepertinya kami akan
membersihkan lingkungan sekolah. Semua berbaris selagi kertas presensi diestafetkan
untuk menulis nama kami yang kesiangan.
Siswa yang terlambat dibagi menjadi beberapa kelompok dan
aku mendapat bagian membersihkan daerah parkiran. Letak yang strategis untuk
mangkir sebentar dari hukuman karena jaraknya yang dekat dengan kantin, aku
bisa menyelinap ke kantin Pak Jajang.
“Mau soda lagi?” tanya Pak Jajang sembari memegang gagang
wajan dengan lap. Aku mengangguk dan bangkit dari kursi untuk membuat soda ku
sendiri.
“Udah lulus Neng Risa mau ngapain nanti?” tanya Pak
Jajang tiba tiba, aku menghentikan
sejenak prosesi penuangan soda bubuk ke dalam gelas. Lalu menggeleng. Jawaban terbaik
yang ku punya.
“Kuliah aja gitu Neng Risa. Pak Jajang pikir sih Neng Risa
bisa kuliah.” Aku tertawa menanggapi ucapan tulusnya. Aku pernah memikirkan
itu, tapi sampai pikirku saja. Tidak berniat menjadikannya bagian dari dongen
ku sendiri.
“Aku terpikir untuk membantu Pak Jajang saja di kantin
atau aku aku memohon ke penjaga perpustakaan untuk menerima ku membantunya
membersihkan buku buku.” Ungkap ku jujur. Aku pun pernah terpikir untuk
membantu Pak Jajang menjaga kantinya.
“Kalau kuliah kan enak Neng, nanti nyari kerja gampang.”
Aku sudah selesai dengan urusan soda ku dan mendapati wajah bingung Pak Jajang.
“Itu yang kebanyakan orang pikirkan Pak Jajang. Tapi
tidak ada yang menjamin seperti itu. Kehidupan itu memiliki pola yang tidak
tertebak dan beragam untuk setiap orang. Aku tidak ingin kuliah karena penduduk
semesta yang menyuruhnya, aku ingin itu hadir dari diriku sendiri.Aku ingin
punya alasan untuk kuliah, aku ingin punya alasan untuk semua tindakan ku bukan
hanya mengikuti pola hidup kebanyakan orang.”
“Pak Jajang hanya menyayangkan saja kalau neng risa
berhenti samapai SMA.”
“Melanjutkan sekolah pun bagi sebagian orang mungkin
tidak ada artinya. Sama seperti ibu risa dan bapak risa. Mereka berdua adalah
mahasiswa yang sama sama bercita cita besar, namun kehadiran risa diantara
mereka adalah perusak mimpi mereka. Aku adalah masalah dalam mimpi mereka. Mimpi
yang mereka punya ditagih pemenuhanya oleh orang tua dan banyak orang
sepertinya. Itulah yang menyebabkan ibu risa pergi dan bapak risa seperti
sekarang.” aku mendapati es di gelas ku berputar putar dan bulir bulir air di
gelas membasahi tanganku namun pipiku lebih basah ternyata. Pak Jajang
menuntunku untuk duduk, dia terlihat sangat bersalah menadapati ku menangis. Bahkan
aku tak pernah menangis di hadapan bapak ku sendiri.
“Harusnya Pak Jajang tidak memaksa. Neng Risa bisa
menjadi apapun yang neng risa inginkan.” Aku tersenyum melihatnya yang
kebingungan seperti itu, padahal aku tidak mempermasalahkanya, ini hanya
masalah ku saja.
“Aku hanya ingin hidup dalam dongen yang bisa ku
ceritakan dengan penuh perasaan, bahwa aku memiliki alasan untuk hidup ku sendiri.
Aku bisa menjadi berharga dengan aku. Karena aku tahu, setiap mereka yang
terlahir pasti memiliki alasan, walau dikatakan sebagai kegagalan sekalipun.”
Aku mengusap dan mengucek mataku dengan kasar, malu sekali aku menagis di hadapan
lelaki yang sudah jauh berpengalaman mengenai hidup, sudah melewati lebih banyak
masalah dari yang ku alami dan mungkin sedang terluka tanpa orang lain ketahui
hari ini.
“Hiduplah dengan baik, dan kalau membantu Pak Jajang kamu
merasa baik, disini sajalah, temani Pak Jajang berjualan. Bagaimana?”
Aku tersenyum
mendapati tawaranya, karena ini hal baik yang bisa ku lakukan dengan
senang hati setiap harinya. Tak perlu mendengar dikte semesta untuk menajdi A
dan B, aku akan menjadi aku. Biarlah kegagalan menghantui kelahiranku, tapi tidak
dengan saat kematianku karena mimpi dalam kepala ini harus menjadi dongeng
terbaik untuk dibawa ke kehidupan ku yang abadi nanti. Setidaknya, aku bisa
membawa sesuatu bukan?
“Lakukan saja yang Neng risa mau lah. Neng risa bukan
orang yang gagal. Bertahan sampai hari ini, adalah sebauh keberhasilan.”
Seperti biasa bel yang berbunyi memutus perbincangan kami dan pak jajang
kembali pada rutinitasnya. Aku? Aku meminum soda ku dulu dengan santai.
Diiringi masuknya soda kedalam kerongkongan, aku pun
berpikir. Melihat pak jajang yang hanya berpenghasialn tak seberapa namun
begitu bermakna hidupnya bagi orang orang tersayang, menurutku sebuah kerberhasilan.
Melihat abang ojek yang mengipas ngipas karena kegerahan untuk memberikan hidup
yang layak bagi keluarganya di rumah adalah keberhasilan. Atau mang penjaja ager yang menempuh sekian
kilo menjaja dagangannya untuk bertahan adalah keberhasilan. Keberhasilan tidak
terlihat dari sejumlah hasil yang didapat, ia adalah hitungan kualitas yang tak
nampak jelas. Mereka memiliki kisah tersendiri, dongen yang mereka miliki. Tak pernah
ada kegagalaan dalam dongeng kehidupan dan mungkin aku harus berdamai dengan
itu, berdamai dengan label kegagalan yang telah tersemat sekian lama dan mulai memikirkan
melanjutkan hidup seperti apa nantinya. Tak terlalu buruk menjadi Risa yang
spesial bukan?

Komentar
Posting Komentar