Daun


Aku adalah satu dari sekian banyak keberadaan kaum ku. Dalam periode pertumbuhannya, kaum ku bisa berjumlah ratusan bahkan ribuan. Bisa dikatakan aku adalah salah satu yang beruntung karena bisa bertahan sampai saat ini. Aku selalu berkumpul  dengan saudaraku yang lain. Kami semua terhubung, dan itulah yang selalu aku pikirkan. Bukan hanya terhubung dengan sesama kaum ku, mungkin setiap makhluk itu terhubung. Kami dihubungkan oleh ketakutan yang sama, kematian. Itu dugaan ku.
Menjadi sehelai daun yang tumbuh pada pohon mangga di halaman belakang rumah menjadikan bayangan kematian lebih terasa dekat. Aku iri pada batang pohon yang lebih kuat dan kokoh, tidak seperti aku yang rapuh. Aku bisa mati dengan cara apa saja, karena setiap hari aku melihat kematian saudara ku. Ada kemungkinan aku mati muda karena anak anak bermain bola di halaman lalu bola melambung mengenai aku disini, lalu menggugurkanku. Atau saat pemiliknya mengingkan buah dan mencabutnya dengan galah, tidak sengaja memelintir terlalu kencang dan mencabut beberapa daun termasuk aku di sana. Itu bisa saja karena memang sialnya beberapa buah menggantung di dekatku. Atau aku bisa hidup sampai menua, waktu akan membuatku meranggas, menguning lalu coklat,  kering, jatuh tertiup angin dan membusuk membaur bersama tanah. Aku bisa mati kapan saja dan itu sangat mencemaskan karena tidak pasti.
Aku merasa ini merupakan suatu ketidak adilan, karena begitu mudah bagi sebuah daun untuk mati berguguran dibandingkan dahan, batang dan akar. Kami harus mati muda atau cepat menua. Periode hidup yang singkat dibandingkan mereka, konsumsi makanan yang lebih sedikit dari mereka, lebih rapuh dan tak berdaya. Sungguh menyebalkan bila aku memikirkannya. Apalagi bila dibandingkan makhluk lain yang lebih tangguh dan berumur panjang
“Aku melihat hanya kau yang bernafas dengan tidak benar. Stomata mu membuka menutup dengan tidak teratur.” Sebuah suara menyadarkan ku dari lamunan panjang. Dia kembali lagi, Kur, si burung hantu yang dua hari lalu bertengger menumpang mengintai mangsa
“Kau lagi. Perasaan mu saja. Cara ku bernafas sama dengan yang lain. Mungkin karena ini malam hari.” Aku memalingkan pandangan mengelak. Ia bia memutar kepalanya seratus delapan puluh derajat, ia pandai menangkap mangsa dan gerakanya cepat tak terduga. Kuyakin ia tidak mudah dibodohi.
“Kau terpikirkan mengenai sesuatu?” tanya nya dengan tatapan langsung menghujam ku. Aku tahu ia cerdas tapi baru ku tahu ia serba ingin tahu. Mungkin kecerdasan berhubungan dengan rasa ingin tahu.
“Bukan urusan mu. Makhluk sempurna yang memiliki kelebihan seperti mu tak akan mau mendengar sehelai daun yang tidak tahu seperti apa hidupnya akan berakhir.” Ia memicingkan matanya yang sudah sipit itu, mencari sesuatu dari urat urat daun ku mungkin. Senyap sebentar lalu dia tiba tiba tertawa.
“Kau sedang mengkhawatirkan hidupmu sepertinya.” Ia memberi jeda dan menatap langit dongker yang sedang tak berawan. Aku mengikutinya. “Sekuat apapun kau mencoba, kau tidak akan tahu bagaimana kau mati. Tidak pernah ada yang tahu.”
“Setidaknya makhluk seperti mu bisa mengantisipasi bukan? Kau bisa memangsa dengan mata, sayap dan cakar mu yang luar biasa, kau tangkas dan cerdas. Aku tidak memiliki apapun bahkan untuk melawan angin. Lihat! Bahkan angin adalah teman mu namun bagi ku ia bisa menjadi pembunuh.” Dia masih belum berpaling dari langitnya, mungkin dari lamunan dirinya sendiri. keterlaluan sekali ia tak  mendengarkan kata kata ku.
“Makhluk setangguh dan secerdas apapun, kematian adalah bagian dari perjalanan setiap makhluk. Kau bisa mati kapan saja dan dimana saja. kita sama sama tak berdaya. Bahkan segala yang kupunya saja kalah dengan waktu. Kalaupun tak ada yang memangsa ku, tapi waktu memangsaku juga bukan? Aku tidak memiliki kehidupan ku sendiri.” kali ini ia menatapku, dengan tatapan cemas yang sama. Aku bisa merasakan kepedihan disana. Apakah memang kita semua merasa khawatir juga? Tikus-tikus harus merasa bersyukur karena pemangsa mereka kini malah berbincang dengan ku, mereka bisa sedikit merasa lega setidaknya hari ini.
“Kau pernah kehilangan?” Pertanyaan itu melontar begitu saja. aku jadi menyesal karena ia kembali menatapku masih dengan kepedihan yang sama.
“Iya, aku pernah kehilangan.” Sungguh pedih sekali melihatnya menunduk seperti itu. Aku bahkan selalu kehilangan orang orang dari kaum ku setiap harinya. Walau kami masih bisa berkomunikasi apabila mereka terdampar di tanah dekat pohon kami dan melihat mereka membusuk perlahan.
“Kau menyesali kehidupan mu yang sekarang?”
Aku bertanya seperti itu karena mencari teman yang merasa tidak adil atas kehidupanya pula. Aku tak ingin memikirkan ini sendirian.
“Duka ku memang bagian dari kehidupan, bahagia ku dan setiap detiknya adalah kehidupan. Namun kehidupan ini bukan miliku sepenuhnya, aku hanya dititipi kehidupan ini saja yang entah bagaimana caranya akan diambil kembali.” Hening dan aku malah terdiam mendengar jawabanya.
Aku tidak percaya akan mendapat jawaban seperti itu darinya, aku kira karena ia berduka ia akan merasa kehidupanya tidak adil pula. Aku jadi berpikir aku yang tidak adil karena terus menghakimi kehidupan yang kujalani ini.
“Kali ini kau yang kutanya. Itu kah yang kau pikirkan mengenai hidup mu? Semua adalah ketidak adilan?”
“Ya! Itu lah yang ku pikirkan. Melihat mereka dengan umur panjang, kokoh  dan kuat, tangkas dan bebas. Dari mulai kuncup sampa menghijau seperti sekarang ini, aku tidak pernah kemana mana!” Hening. Ia terlihat menarik nafas panjang.
“Karena itu memang kehidupan mu. Daun hidup menjadi bagian dari pohon dan memberi kami oksigen, burung hidup untuk terbang dan memangsa, angin untuk menerbangkan dan mengarak awan. Masing masing dengan kehidupanya. Tidak ada yang lebih baik dan lebih lama. Tergantung padamu bagaimana menjalaninya. Semua berjalan dengan waktu hidup mereka masing-masing.” Ia menatap ku lekat, menumbukan pandangan. aku merasakan kata katanya bermain dalam kepala.  Sudah sejak lama rasanya aku merutuki kehidupan ku sendiri.
“Daun, karena ini hidup mu maka jalanilah sebagimana sebuah daun itu dilahirkan. Tak akan ada oksigen tanpa keberadaan mu. Aku mungkin sudah mati tanpa keberadaan kalian. Kau bilang aku sempurna? Tidak sama sekali”
“Tapi hidup ku begitu singkat” keluhku, masih mengganjal rasanya tidak mengutarakan ketidak adilan terbesar yang aku rasakan.
“Bukan soal seberapa lama kau hidup, tapi bagaimana kau mengisinya. Mungkin kau mati, tapi kau hidup mengalir pada setiap darah yang menghirup oksigen mu. Kau hidup bersama tumbuhan yang subur akibat busuknya daun mu, yang bila pohon itu tumbuh besar dan berdaun, berbunga dan berbuah, kau menjadi bagian dari kehidupanya. Betapa luar biasannya diri mu kawan, kau menjadi bagian dari kehidupan banyak makhluk. Kau bisa mengisi kehidupan mu dari pada mengkhawatikan apa memang pasti datang. Kehidupan ini bukan sepenuhnya milikmu kawan.” Perasaan ku saja, atau memang kata katanya menohok sangat dalam? Aku tertegun, cukup lama dan mulai mengawang. Betapa luas sekali kehidupan yang mampu ku jangkau, dari kerapuhan ku yang tertambat seumur hidup pada pohon tempat ku tumbuh. Aku juga ternyata mengisi kehidupan makhluk lain, tak pernah terpikirkan mengenai hal itu sebelumnya.
“Hei kawan. Entah untuk siapa kau berduka tapi maafkan aku telah menyinggungnya dan terimakasih untuk  semuanya. Aku akan mencernanya perlahan. Kepala ku terlalu keras kau tahu.” Aku memalingkan wajah, menyembunyikan bendungan di mata yang kalau kalau jebol ia tidak melihatnya langsung. Itu memalukan.
“Aku berduka untuknya. Dia yang mengatakan semua itu  pada ku agar melepasnya dengan tangan terbuka. Menggenggam terlalu erat pada sesuatu yang sudah lagi tak layak menyakitkan katanya.” Ia terlihat menyeka ujung matanya. Suasana hening samai aku mendengar suara misterius. “Maaf itu suara perutku. Aku harus berburu. Senang berbincang dengan mu daun. “ Ia mengepakkan sayapnya dan meninggalkan dahan, menembus angin tanpa bersuara dan tertelan kegelapan lalu menghilang dari pandangan. Angin mengusik ku, rasanya aku sudah tak lagi memusuhinya atau menganggapnya ancaman. Angin menyegarkan ternyata.
Hari hari berlalu dan Kur sesekali datang mengobrol sekalian mengintai mangsa. Hidup ku berlangsung seperti biasanya sebuah daun, hanya dengan pemikiran yang berbeda. Aku melihat anak anak bermain dan entah kenapa hal itu membuatku tersenyum, oksigen ku ada dalam aliran darah mereka. Aku melihat beberapa orang memetik buah dengan galah membuatku tersenyum pula, ada oksigen ku yang mengalir bersama mereka. Beberapa kolega ku terjatuh, aku mendo’akan mereka dan cemburu mereka bisa membuat pohon lebih subur. Aku menjadi berpikir, kita semua bukan terhubung dengan rasa takut, tapi rasa syukur. Rasa syukur itu adalah menjalani hidup sebagaimana makhluk itu dilahirkan dan menjadi daun adalah kehidupanku.

Komentar

Postingan Populer