Pohon Ayah
"Kemari, kita duduk istirahat." Ajak ayah menepuk tanah kokoh namun dingin tepat dibawah pohon yang begitu rindang.
"Baiklah." Aku duduk lalu bersandar. Ayah menyerahkan sebotol air minum dan ku minum hampir setengahnya.
"Enak sekali kan nak duduk di bawah pohon ini?"
"Hmmmm." Ucapku dan memejamkan mata rasanya akan nikmat kalau bisa beristirahat saja.
"Kalau kau memilih, ingin jadi seperti pohon apakah dirimu ini nak?"
"Jadi pohon? Aku ingin jadi manusia saja yah." Ucapku polos waktu itu.
" ini hanya mengibaratkan saja." Ia pun mengusap puncak kepalaku "suatu hari kau akan mengerti. Tapi pegang lah selalu ini nak. Tak perlu lah kau menjadi pohon yang menjulang tinggi besar namun tak mampu menangungi banyak orang. Cukuplah jadi seperti pohon ini nak, tak terlalu pendek atau tinggi, daunnya rindang meneduhkan, akar dan batangnya kokoh dan buahnya dekat untuk dipetik tak menyusahkan."
Angin mengiringi petuah manisnya. Aku menatap keatas dan matahari menelisik melalui celah dedaunan, tak menyilaukan. Ah, nikmatnya untuk memejamkan mata.
***
Masa liburan tengah menyapa. Selama dua bulan ini aku menganggur dengan kegiatan yang hanya berisi acara petemuan dengan beberapa teman, seperti hanya mengisi kekosongan tapi aku ingin benar benar produktif.
"Ta, udah liat nilai yang keluar?" Sebuah pesan masuk dan darah mengalir dengan cepat meninggalkan seluruh organku menuju jantung yang kini berpacu lebih cepat, wajahku rasanya begitu pucat. Kenapa aku harus setakut ini? Akhir akhir ini aku mencemaskan nilai nilai ku. Ak telah berjuang untuk mereka sekarang aku akan melihat hasilnya. Langsung saja masuk ke situs terpadu untuk melihat transkip nilai. Saat dibuka wajahku rasanya tambah pucat dan makin lemas memandang handphone. Nilaiku turun dan jauh dari harapan. Apa yang harus ku lakukan? Apa yang akan ku katakan pada ibu? Aku memaki diri sendiri karena tidak maksimal tapi sejauh ini aku selalu belajar, apa salahku?
Aku melampiaskan amarahku dengan menangis di kamar. Ibu tengah bekerja sehingga tak ada seorang pun dirumah. Aku akan mengecewakan ayah dan mengkhianati usaha ibu selama ini. Sebodohkah itu diriku ini?
"Ta, hari ini ada rapat. Inget kan?" Sebuah pesan lain masuk dan aku menyusut air mataku. Mengipas ngipas mata yang merah ini.
"Mytha, lupakan sejenak dan bersiaplah." Gumamku pada diri sendiri dan aku mulai bersiap.
Sepanjang perjalaan aku terus memikirkan nilai nilaiku, menatap jalanan tapi pikirku malah melayang penuh ketakutan dan cemas. Kalau aku tak ingat sedang ada di tempat umum aku sudah menangis lagi sekarang. Berkuliah dengan beasiswa membuatku mencemaskan banyak hal tapi yang ku takutkan adalah kenyataan bahwa ibu ku harus tahu dan kebingunganku untuk mengatakannya lalu untuk menghadapinya. Aku harus bagaimana?
***
"Mytha, bagaimana nilai rapornya nak?" Sambut ayahku ketika baru saja aku memasuki rumah.
"Mytha juara satu lagi yah." Ucapku lalu disambut peluk hangatnya. Ibu menghampiri dan mengusap puncak kepalaku. Ah rasanya seluruh semesta tengah memihak ku.
"Mytha mau apa? Akan ayah belikan."
Setelahnya aku biasa meminta makan diluar rumah. Memesan ayam bakar favoritku lalu kami membicarakan banyak hal.
"Ketika ujian, Mytha mencontek tidak?" Tanya ayahku saat sesuap nasi kumasukan.
"Mytha tidak pernah mencontek yah. Entah kenapa rasanya takut." Ucapku dengan mulut setengah penuh.
"Telan dulu sayang, baru jawab." Ucap ibu dan melanjutkan makannya.
"Itu hebat sekali. Berarti ini adalah hasil yang memang pantas mytha dapatkan. Namun karena belajar adalah kewajiban, nilai bagus atau jelek itu hanya hadiah nak, supaya kita dapat mengambil pelajaran. Ingatlah, suatu hari nanti mungkin mytha akan dihadapkan pada posisi menggiurkan, tapi jangan tinggalkan kejujuran. Itu bagian dari pohon kehidupan nak. Jangan gadaikan kejujuran hanya untuk hal yang akan menghilangkan nilai sesungguhnya." Aku mengangguk mantap mendengar petuahnya. Lalu melanjutkan menyantap ayam goreng lezat ini.
***
Prinsip yang diterapkan ayahku selalu ku pegang. Saat sekolah dasar sampai sekolah menengah aku selalu memegangnya erat. Tapi kenapa aku sekarang goyah? Kenapa sekarang aku seakan tak percaya? Apa karena dulu semuanya berjalan baik baik saja? Aku tak menggadaikan kejujuran ku saat ujian kemarin tapi kenapa ada keraguan bahwa aku akan baik baik saja? Bukannya selagi kebaikan itu kita jalankan seharusnya tak ada kecemasan. Yah aku sedang ragu akan kebenaran yang kupegang sendiri.
"Lis, maaf aku mangkir dari rapat. Ada urusan penting." Aku mengirim pesan singkat tepat saat sampai di kampus. Aku tak datang ke ruang rapat, melainkan menuju taman. Hanya ingin rebahan dibawah pohon, hanya ingin sendiri dengan segala kecemasanku.
"Pohon rindang." Gumamku lalu menuju kearahnya. Duduk diatas tanah dinginnya dan merasakan kesegaran yang berbeda. Menatap sinar matahari dari celah dedaunannya lalu terpejam. Sebentar merasakan sensasinya. Aku jadi teringat ayah dan pesannya. Ah iya pesannya. Aku tahu ayah kenapa kau menginginkan menjadi pohon seperti ini. Tak terlalu pendek atau tinggi, daunnya rindang, akar dan batangnya kokoh lalu buahnya tak terlalu jauh dipetik. Karena aku pun menyukai pohon seperti ini dan semua orang pun begitu. Lalu sesuatu melintas dikepalaku. Kenapa tak kupikirkan pesannya. Kenapa aku menangisi nilai ku yang selama bertahun tahun kemarin aku sekolah aku tak pernah mencemaskannya.
"Ayah terimakasih."
***
Setiap orang harus memilih ingin menjadi seperti apa. Tapi ayah ku berpesan untuk seperti pohon yang ia ceritakan dulu. Pohon yang memberi banyak manfaat pada setiap orang. Manfaat yang mudah orang orang peroleh. Aku tahu nilaiku penting tapi aku kuliah bukan untuk itu, kuliah ku untuk melaksanakan kewajibanku dan nilai adalah bonusnya. Aku merasa seakan kerjaku maksimal dan dibayar dengan nilai yang kurang sesuai, mungkin ini ujian atas prinsip yang ditanamkan ayah selama ini. Ah aku jadi teringat bahwa ujian adalah tantangan memaknai bukan untuk menguji kemapuan karena ujian datang pada mereka sesuai kemampuannya. Aku belajar memaknainya sekarang. Tugas ku menjadi orang yang akan memberi banyak manfaat bukan menjadi orang dengan pengetahuan seabrek namun hanya untuk dirinya sendiri. Santai saja mytha. Semua akan baik baik saja.
"Nak, mau pergi kemana?"
"Ada project sama temen mah, konservasi mangrove."
"Hati hati yah."
Aku berjalan melampaui kecemasan dan ketakutan untuk menjadi seseorang yang suatu hari akan menjadi pohon yang menaungi banyak orang membiarkan mereka berteduh, bermain ayunan, memetik buah atau sekedar melihat sinar matahari dari celah dedaunannya.
"Baiklah." Aku duduk lalu bersandar. Ayah menyerahkan sebotol air minum dan ku minum hampir setengahnya.
"Enak sekali kan nak duduk di bawah pohon ini?"
"Hmmmm." Ucapku dan memejamkan mata rasanya akan nikmat kalau bisa beristirahat saja.
"Kalau kau memilih, ingin jadi seperti pohon apakah dirimu ini nak?"
"Jadi pohon? Aku ingin jadi manusia saja yah." Ucapku polos waktu itu.
" ini hanya mengibaratkan saja." Ia pun mengusap puncak kepalaku "suatu hari kau akan mengerti. Tapi pegang lah selalu ini nak. Tak perlu lah kau menjadi pohon yang menjulang tinggi besar namun tak mampu menangungi banyak orang. Cukuplah jadi seperti pohon ini nak, tak terlalu pendek atau tinggi, daunnya rindang meneduhkan, akar dan batangnya kokoh dan buahnya dekat untuk dipetik tak menyusahkan."
Angin mengiringi petuah manisnya. Aku menatap keatas dan matahari menelisik melalui celah dedaunan, tak menyilaukan. Ah, nikmatnya untuk memejamkan mata.
***
Masa liburan tengah menyapa. Selama dua bulan ini aku menganggur dengan kegiatan yang hanya berisi acara petemuan dengan beberapa teman, seperti hanya mengisi kekosongan tapi aku ingin benar benar produktif.
"Ta, udah liat nilai yang keluar?" Sebuah pesan masuk dan darah mengalir dengan cepat meninggalkan seluruh organku menuju jantung yang kini berpacu lebih cepat, wajahku rasanya begitu pucat. Kenapa aku harus setakut ini? Akhir akhir ini aku mencemaskan nilai nilai ku. Ak telah berjuang untuk mereka sekarang aku akan melihat hasilnya. Langsung saja masuk ke situs terpadu untuk melihat transkip nilai. Saat dibuka wajahku rasanya tambah pucat dan makin lemas memandang handphone. Nilaiku turun dan jauh dari harapan. Apa yang harus ku lakukan? Apa yang akan ku katakan pada ibu? Aku memaki diri sendiri karena tidak maksimal tapi sejauh ini aku selalu belajar, apa salahku?
Aku melampiaskan amarahku dengan menangis di kamar. Ibu tengah bekerja sehingga tak ada seorang pun dirumah. Aku akan mengecewakan ayah dan mengkhianati usaha ibu selama ini. Sebodohkah itu diriku ini?
"Ta, hari ini ada rapat. Inget kan?" Sebuah pesan lain masuk dan aku menyusut air mataku. Mengipas ngipas mata yang merah ini.
"Mytha, lupakan sejenak dan bersiaplah." Gumamku pada diri sendiri dan aku mulai bersiap.
Sepanjang perjalaan aku terus memikirkan nilai nilaiku, menatap jalanan tapi pikirku malah melayang penuh ketakutan dan cemas. Kalau aku tak ingat sedang ada di tempat umum aku sudah menangis lagi sekarang. Berkuliah dengan beasiswa membuatku mencemaskan banyak hal tapi yang ku takutkan adalah kenyataan bahwa ibu ku harus tahu dan kebingunganku untuk mengatakannya lalu untuk menghadapinya. Aku harus bagaimana?
***
"Mytha, bagaimana nilai rapornya nak?" Sambut ayahku ketika baru saja aku memasuki rumah.
"Mytha juara satu lagi yah." Ucapku lalu disambut peluk hangatnya. Ibu menghampiri dan mengusap puncak kepalaku. Ah rasanya seluruh semesta tengah memihak ku.
"Mytha mau apa? Akan ayah belikan."
Setelahnya aku biasa meminta makan diluar rumah. Memesan ayam bakar favoritku lalu kami membicarakan banyak hal.
"Ketika ujian, Mytha mencontek tidak?" Tanya ayahku saat sesuap nasi kumasukan.
"Mytha tidak pernah mencontek yah. Entah kenapa rasanya takut." Ucapku dengan mulut setengah penuh.
"Telan dulu sayang, baru jawab." Ucap ibu dan melanjutkan makannya.
"Itu hebat sekali. Berarti ini adalah hasil yang memang pantas mytha dapatkan. Namun karena belajar adalah kewajiban, nilai bagus atau jelek itu hanya hadiah nak, supaya kita dapat mengambil pelajaran. Ingatlah, suatu hari nanti mungkin mytha akan dihadapkan pada posisi menggiurkan, tapi jangan tinggalkan kejujuran. Itu bagian dari pohon kehidupan nak. Jangan gadaikan kejujuran hanya untuk hal yang akan menghilangkan nilai sesungguhnya." Aku mengangguk mantap mendengar petuahnya. Lalu melanjutkan menyantap ayam goreng lezat ini.
***
Prinsip yang diterapkan ayahku selalu ku pegang. Saat sekolah dasar sampai sekolah menengah aku selalu memegangnya erat. Tapi kenapa aku sekarang goyah? Kenapa sekarang aku seakan tak percaya? Apa karena dulu semuanya berjalan baik baik saja? Aku tak menggadaikan kejujuran ku saat ujian kemarin tapi kenapa ada keraguan bahwa aku akan baik baik saja? Bukannya selagi kebaikan itu kita jalankan seharusnya tak ada kecemasan. Yah aku sedang ragu akan kebenaran yang kupegang sendiri.
"Lis, maaf aku mangkir dari rapat. Ada urusan penting." Aku mengirim pesan singkat tepat saat sampai di kampus. Aku tak datang ke ruang rapat, melainkan menuju taman. Hanya ingin rebahan dibawah pohon, hanya ingin sendiri dengan segala kecemasanku.
"Pohon rindang." Gumamku lalu menuju kearahnya. Duduk diatas tanah dinginnya dan merasakan kesegaran yang berbeda. Menatap sinar matahari dari celah dedaunannya lalu terpejam. Sebentar merasakan sensasinya. Aku jadi teringat ayah dan pesannya. Ah iya pesannya. Aku tahu ayah kenapa kau menginginkan menjadi pohon seperti ini. Tak terlalu pendek atau tinggi, daunnya rindang, akar dan batangnya kokoh lalu buahnya tak terlalu jauh dipetik. Karena aku pun menyukai pohon seperti ini dan semua orang pun begitu. Lalu sesuatu melintas dikepalaku. Kenapa tak kupikirkan pesannya. Kenapa aku menangisi nilai ku yang selama bertahun tahun kemarin aku sekolah aku tak pernah mencemaskannya.
"Ayah terimakasih."
***
Setiap orang harus memilih ingin menjadi seperti apa. Tapi ayah ku berpesan untuk seperti pohon yang ia ceritakan dulu. Pohon yang memberi banyak manfaat pada setiap orang. Manfaat yang mudah orang orang peroleh. Aku tahu nilaiku penting tapi aku kuliah bukan untuk itu, kuliah ku untuk melaksanakan kewajibanku dan nilai adalah bonusnya. Aku merasa seakan kerjaku maksimal dan dibayar dengan nilai yang kurang sesuai, mungkin ini ujian atas prinsip yang ditanamkan ayah selama ini. Ah aku jadi teringat bahwa ujian adalah tantangan memaknai bukan untuk menguji kemapuan karena ujian datang pada mereka sesuai kemampuannya. Aku belajar memaknainya sekarang. Tugas ku menjadi orang yang akan memberi banyak manfaat bukan menjadi orang dengan pengetahuan seabrek namun hanya untuk dirinya sendiri. Santai saja mytha. Semua akan baik baik saja.
"Nak, mau pergi kemana?"
"Ada project sama temen mah, konservasi mangrove."
"Hati hati yah."
Aku berjalan melampaui kecemasan dan ketakutan untuk menjadi seseorang yang suatu hari akan menjadi pohon yang menaungi banyak orang membiarkan mereka berteduh, bermain ayunan, memetik buah atau sekedar melihat sinar matahari dari celah dedaunannya.
Komentar
Posting Komentar